Daily News | Jakarta – Keberadaan institusi kepolisian dalam perhelatan pesta demokrasi semakin menjadi sorotan publik. Fenomena parcok (partai cokelat), yang menggambarkan dugaan keberpihakan polisi dalam politik, dinilai telah berlangsung sejak Pilpres 2024. Bahkan, perannya semakin besar saat Pilkada serentak.
“Saat Pilpres, paslon AMIN (Anies-Muhaimin) merasakan dirugikan keberadaan parcok ini,” kata Konsultan Hukum Surahman Suryatmaja, SE., SH., MH. saat dihubungi KBA News, Minggu, 8 Desember 2024.
Dia menyatakan bahwa parcok memengaruhi berbagai sektor, termasuk politik dan institusi kepolisian. “Keberadaan parcok, baik secara langsung maupun tidak langsung, turut memberi dampak signifikan pada perpolitikan nasional, terutama dalam konteks Pilpres dan Pilkada,” jelas Surahman.
Advokat asal Purbalingga ini juga menyoroti kasus pemilihan Listyo Sigit Prabowo sebagai Kapolri. Menurutnya, Listyo Sigit yang dipilih melompati beberapa generasi dan angkatan di tubuh Polri. “Itu merusak meritokrasi di tubuh Polri. Banyak jenderal yang kecewa karena dilompati, padahal mereka berpotensi menjadi Kapolri,” ungkap Surahman.
Surahman menilai praktik ini tidak hanya menimbulkan ketidakpuasan internal tetapi juga berpotensi mengganggu profesionalisme institusi. Meritokrasi yang rusak turut memengaruhi regenerasi kepemimpinan di tubuh Polri, yang seharusnya berjalan secara adil dan berjenjang.
Ia menyebut, jika tidak ada reformasi serius, pola ini akan terus berlanjut. Sebagai perbandingan, di beberapa negara maju seperti Amerika Serikat, institusi kepolisian berada di bawah kendali Kementerian Dalam Negeri. Namun, Surahman menilai bahwa model ini sulit diterapkan di Indonesia, terutama jika kementerian tersebut dipimpin oleh politisi dari partai tertentu.
“Jika kepolisian di bawah kementerian, apalagi dengan menteri yang berasal dari partai politik, maka mereka akan lebih mudah dipengaruhi. Sekarang saja polisi hanya dipengaruhi presiden, itu masih lebih baik,” tegasnya.
Surahman menekankan pentingnya menjaga independensi kepolisian. “Polisi itu memiliki peran sentral: menegakkan keadilan, menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat (kamtibmas), serta menegakkan hukum,” ujarnya.
Namun, ia menyayangkan bahwa independensi kepolisian kian terkikis dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo. Salah satu indikasinya adalah dugaan keterlibatan kepolisian dalam politik praktis selama Pilpres dan Pilkada.
Menurut Surahman, fenomena ini menjadi ancaman serius bagi demokrasi. “Polisi harus independen dan kuat. Tetapi sekarang, mereka seolah terlibat dalam politik praktis,” imbuhnya.
Surahman menegaskan bahwa reformasi di tubuh kepolisian harus menjadi prioritas untuk menjaga profesionalisme dan mengembalikan kepercayaan publik. Tanpa langkah ini, demokrasi dan netralitas lembaga negara akan terus menghadapi tantangan serius. (HMP)