Daily News | Jakarta – Entah kenapa film India masa kini cenderung berubah nunasa menjadi alat propaganda Islamofobia. Film Bollywood dulu pernah menjadi simbol persatuan Hindu-Muslim. kini nuansanya berubah menjadi alat propaganda Islamofobia di India.
Pengamat sosial keagamaan, Ahmadie Thaha, mengatakan setelah industri film AS Hollywod dan industri film Inda Bollywood mengalami gejala Islamofobia, pihaknya berharap agar situsi itu tidak terjadi di Indonesia. Bahkan, berkaca pada kasus India, kemungkinan munculnya Islamfobia di Indonesia dapat terjadi bila pihak penguasa atau pemenang Pemilu sampai memberi dukungannya.
”Saat ini saya merasakan, dalam gemerlap warna-warni Bollywood, sebuah industri yang pernah menjadi simbol harmoni, keragaman, dan cinta telah terselip nada-nada sumbang yang menyuarakan ketegangan agama dan propaganda politik. Perubahan arah ini didukung dan disponsori oleh partai penguasa pemenang pemilu,” kata Ahmadie Thaha, kepada KBA News, Selasa 31 Desember 2024.
Ahmadie mengatakan, semua cerminan film India terdahulu bernuansa sangat idealis. Di sana tampak jelas gambaran persatuan dalam keberagamaan. Bahkan kini tema yang diusung film India cenderung membawa nila ‘Jai Hindutnya’ (semangat ajaran Hindu).
”Dahulu film India kental dengan tema “Jai Ho” (salam kemanusiaan perdamaian). Kini kental dengan semangat “Jai Hindutva” (Kemenangan bagi Hindustan”. Tampaknya ini menyelaraskan diri dengan narasi yang diusung oleh partai berkuasa, BJP, di bawah kepemimpinan rezim Narendra Modi.
Apa buktinya? Ahmadie mengatakan situasi perubahan nuansa film India itu, terjejak pada sosok perubahan drastis dari salah satu super starnya, yakni Shahrukh Khan. Kini dia tidak lagi bermain peran dalam lakon cinta dan kemanusiaan, namun berubah menjadi aktor yang memerankan sosok antagonis. ”Shahrukh Khan kini menjadi layaknya seorang aktor propaganda. Peran yang dia mainkan kini mengesankan bila Muslim itu ancaman bagi India yang mayoritas beragama Hindu. Ini sebangun dengan narasi yang tidak hentinya dinarasikan oleh pihak partai penguasana India saat ini.”
Ahmadie Thaha kemudian mempersilakan semua pihak menonton film Swatantrya Veer Savarkar dan The Kerala Story. Kedua film ini buki nyata film berubahnya film India yang kini tak lebih menjadi mesin propaganda.
”Kedua film itu di India diklaim sebagai karya seni. Namun bila dicermati justru terkesan sebagai alat politik. Juga film India masa kini yang lain, seperti The Kashmir Files. Alur cerita dan penokohan telah mengubah tragedi kemanusiaan menjadi kisah heroisme sepihak. Di sana tergambar betapa kaum Muslim sebagai pelaku kekerasan semata tanpa perlu tahu dan melihat nuansa realita kompleksitas yang ada di belakangnya. Perdana Menteri India Narenda Modi sampai merasa perlu mengangkat jempol untuk itu,” tukasnya,
Melihat kenyataan yang ada, maka industru Film Bollywood kini tidak sekadar mencetak bintang belaka. Namun, juga mencetak para “pahlawan” propaganda. Alhasil, dengan penduduk India yang sebanyak 173 juta adalah penduduk Muslim, pemerintahan India yang berkuasa saat ini memang bisa menganggapnya sebagai minoritas.
“Tapi pertanyaan kita semua mengapa harus sampai menghinakan sedemikian rupa pihak yang mnioritas? Islamofobia dalam perfilman India masa kini tidak lagi sekadar menjadi latar belakang, tetapi tema utama, dengan narasi yang terus diulang-ulang,” tandas Ahmadie Thana.
Bila melihat pada sejarah perjalanannya, film Bollywood memang tidak asing dengan nuansa politik. Pada era sebelumnya, film-film patriotik yang menggambarkan Pakistan sebagai musuh besar sering kali sesuai dengan kebijakan luar negeri India. Namun, apa yang terjadi sekarang jauh lebih problematik.
“Yang paling ironis adalah Bollywood dulu pernah menjadi simbol persatuan Hindu-Muslim. Karya-karya seperti film Yash Chopra mengajarkan bahwa cinta dapat melampaui sekat agama. Tetapi kini, pesan seperti itu dianggap subversif, bahkan anti-nasional,” katanya. (DJP)
Discussion about this post