Daily News | Jakarta – Kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12 persen sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2024 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan memicu kontroversi. Pemerintah beralasan bahwa kebijakan tersebut merupakan amanat undang-undang. Kebijakan baru ini akan diberlakukan mulai 1 Januari 2025.
Konsultan hukum Surahman Suryatmaja mengatakan bahwa filosofi pajak sebenarnya adalah agar uang rakyat kembali kepada negara dalam bentuk fasilitas untuk warga, seperti fasilitas umum, pendidikan, kesehatan, dan lainnya.
“Kenapa rakyat mau membayar pajak? Karena itu kembali ke rakyat lagi,” katanya saat dihubungi KBA News, Selasa, 31 Desember 2024.
Namun, menurut Surahman, kondisi di Indonesia saat ini berbeda. “Rakyat menanggung beban pajak, memang ada yang kembali ke masyarakat dalam bentuk bantuan maupun fasilitas umum. Tapi sekarang pajak dinaikkan sedemikian tinggi, termasuk pajak-pajak lainnya, bukan untuk kembali ke rakyat, melainkan untuk menambal kebocoran APBN,” ungkapnya.
Advokat asal Purbalingga itu membandingkan kebijakan pajak di negara-negara Skandinavia. Di sana, pajaknya bahkan mencapai 50 persen dari pendapatan masyarakat, namun mereka tidak mengeluh. “Mereka menerima dengan baik karena apa yang kembali kepada mereka sepadan dengan apa yang mereka keluarkan: fasilitas umum gratis, kesehatan, pendidikan, hingga angkutan umum yang baik dan juga gratis,” jelasnya.
Surahman juga menyoroti kondisi ekonomi Indonesia yang sedang terseok-seok, namun justru menaikkan beban pajak. “Bukan untuk dikembalikan ke rakyat, melainkan untuk menambal APBN yang bocor. Jadi, sense of crisis pejabat kita bisa dibilang nyaris tidak ada,” tegasnya.
Sebagai contoh, Surahman menyoroti pernyataan politisi PDI-P, anggota DPR RI Rieke Diah Pitaloka, yang menyerukan agar Presiden Prabowo memberikan kado istimewa untuk rakyat pada awal tahun 2025 dengan membatalkan kenaikan PPN 12 persen, atau setidaknya menundanya.
“Malah dia dilaporkan ke MKD karena dianggap melanggar etika. Ini luar biasa jahat! Sebagai anggota dewan, di mana sense of crisis mereka? Justru Rieke yang dilaporkan,” jelasnya.
Surahman menegaskan bahwa apa yang disuarakan Rieke Diah Pitaloka sudah seharusnya dilakukan sebagai wakil rakyat. “Kita sudah tidak lagi bicara soal partai politik, tapi sekarang bicara tentang amanat yang diberikan kepadanya sebagai wakil rakyat,” ungkapnya.
“Jadi, sekali lagi, ini adalah ironi sebuah negeri bernama Indonesia. Pajak bukan untuk rakyat dalam bentuk fasilitas yang bisa dinikmati, melainkan untuk menambal kebocoran APBN akibat salah kelola dalam bernegara,” tuturnya. (EJP)
Discussion about this post