Daily News | Jakarta – Pengamat hubungan internasional PLE Priatna menilai Amerika Serikat (AS) ingin mengubah secara paksa peta perdagangan global, agar cuan berpihak padanya. Dengan melakukan aksi pemalakan global lewat biaya tarif, bagi negara yang dagangnya surplus.
“Presiden Donald Trump mendesak negara mitra untuk segera belanja impor komoditas AS,” kata Priatna kepada KBA News, Rabu, 9 April 2025.
AS menderita defisit sebab mitra dagangnya selain curang juga hanya sedikit mengimpor komoditas dari Amerika. Karena situasi darurat nasional, maka mitra dagang harus membuka kran liberalisasi impor komoditas dari AS sebanyak-banyaknya.
“Begitu logika ekonomi yang digunakan Presiden Donald Trump,” imbuh Priatna yang juga diplomat senior RI 1988-2021 ini.
Lucunya, kata Priatna, setelah Trump mengumumkan kenaikan beban tarif ini, Mendag AS mengancam agar negara terdampak, ikhlas menerima dan tidak melakukan pembalasan, atas aksi pemalakan lewat beban tarif baru yang dilakukan AS itu.
Menurut Priatna, ada dua kutub pola respons terhadap pemalakan biaya tarif ini. Pertama, pola Beijing, melakukan perlawanan dan membalas dengan tarif. Kedua, pola Hanoi menerima keputusan Trump dengan memberi tarif O persen pada produk komoditas dari AS.
Lalu apa terjadi, dari dua pilihan respons itu? Dikatakan Priatna, Donald Trump marah terhadap China dan mengatakan akan menjatuhkan beban tarif ekstra sebesar 50 persen atau total menjadi 104 persen atas impor dari China jika Beijing tidak mencabut kebijakan tarif balasannya, sebelum berlaku.
“China jalan terus selain membalas beban tarif 34 persen, China juga mengeluarkan daftar hitam membatasi impor dan ekspor untuk 11 produsen dan kontraktor pertahanan AS,” imbuhnya.
Ragam larangan dari ekspor impor tanah jarang, perusahaan yang memproduksi pesawat nirawak, pesawat terbang, teknologi, dan sistem persenjataan.
Priatna yang juga mantan wakil kepala Perwakilan RI di Beijing dan Tokyo ini menuturkan, kisruh AS dengan China berbeda dengan Vietnam.
Peter Navaro, sebut Priatna, hanya penasihat ekonomi Presiden AS, dan Navaro bukan Menteri Perdagangan AS, ucapannya terasa mengunci Vietnam, sekalipun membebaskan produk AS ke Vietnam dengan beban tarif nol.
Navaro menyatakan bahwa proposal Vietnam memberikan tarif baru 0 persen bagi AS sama sekali tidak mengubah apa-apa.
Navarro menyebut Vietnam sebagai contoh nyata kecurangan non tarif dan bahkan mengatakan jika negara itu menghapus semua tarifnya, AS masih akan mengalami defisit yang besar.
Ini bukan negosiasi, ini darurat nasional, yang sebabkan defisit, karena adanya kecurangan, imbuh Navaro, penasihat rasa Mendag AS itu.
Jadi apa maunya AS? Priatna yang juga alumnus FISIP UI dan Monash University, Melbourne, Australia ini, mengatakan, tidak lain beban tarif baru ini adalah sanksi dagang untuk memungut kompensasi cuan atau bentuk pemalakan pada negara mitra, agar mengimpor lebih banyak, membuka akses pasar bagi produk komoditas AS.
“Mitra dagang di 180 negara dipalak paksa agar impor sebanyak-banyak komoditas dari AS. Dengan resep ini defisitnya pun diyakini secara politik akan berangsur membaik,” imbuhnya.
Pernyataan Menkeu Sri Mulyani disebutkan Priatna, benar. “Jadi ini sudah tidak berlaku lagi ilmu ekonomi. Yang penting pokoknya tarif duluan. Karena tujuannya menutup defisit. Tidak ada ilmu ekonominya di situ,” kata Sri Mulyani.
“Menutup defisit itu artinya saya tidak ingin tergantung atau beli kepada orang lain lebih banyak dari apa yang saya bisa jual kepada orang lain. Itu its purely transactional, nggak ada landasan ilmu ekonominya,” lanjutnya.
Pesan penting selain dari penetapan beban tarif baru AS ini, tandas Priatna yang juga mantan Direktur Informasi dan Media, Kementerian Luar Negeri RI, adalah desakan liberalisasi mitra dagang untuk membuka akses pasar dan meminimalisir hambatan non tarif bagi produk komoditas AS.
Dalih defisit AS akibat persaingan dagang yang curangdengan memungut kompensasi cuan ekspor dari negara mitra berupa beban tarifadalah senjata baru AS. Tata kelola pasar bebas dan dinamika perdagangan global pun tidak lagi memihak padanya.
“Kita saksikan bersama. Ambisi AS mengubah dunia melalui beban tarif, justru meletakkannya menjadi pendulum yang memukul balik kemampuan ekonomi,” pungkasnya. (HMP)
?
Discussion about this post