Daily News | Jakarta – Bagaimana bisa seseorang ditahan atas dasar angka yang tidak pasti? Ini adalah masalah serius dalam kepastian hukum.
Begitulah, Kuasa hukum Tom Lembong, Zaid Mushafi, S.H., M.H., menyoroti berbagai kejanggalan dalam proses hukum yang menjerat kliennya. Ia menegaskan bahwa kasus ini mencerminkan permasalahan mendasar dalam sistem hukum Indonesia, yang perlu segera diperbaiki agar tidak mencederai prinsip keadilan.
Zaid menekankan pentingnya reformasi di tubuh aparat penegak hukum, mulai dari kepolisian, kejaksaan, hingga kehakiman. Menurutnya, seleksi moral dan pola pikir aparat hukum harus diperketat, bukan sekadar berdasarkan kemampuan akademik. Pengawasan terhadap jaksa yang telah direkrut juga menjadi krusial, mengingat dugaan penyalahgunaan wewenang yang kerap muncul dalam berbagai kasus.
Di sisi lain, kejaksaan belakangan ini memang menunjukkan progresivitas dalam mengungkap kasus besar seperti Jiwasraya, Asabri, hingga Pertamina. Namun, Zaid mengingatkan bahwa tanpa pengawasan ketat, potensi penyimpangan dalam proses hukum tetap terbuka lebar.
Kejanggalan dalam penetapan tersangka
Tom Lembong ditetapkan sebagai tersangka pada 19 Oktober 2024 dan langsung ditahan. Namun, terdapat kejanggalan mencolok dalam proses ini: saat penetapan tersangka dan penahanan, Tom Lembong tidak didampingi penasihat hukum. Padahal, pendampingan hukum adalah hak mutlak seorang tersangka.
“Pak Tom Lembong adalah seorang profesional yang tentu saja mampu menunjuk penasihat hukum sendiri, tetapi justru kejaksaan yang menyodorkan pengacara kepadanya. Ini adalah cacat fatal dalam proses penegakan hukum,” tegas Zaid dalam diskusi publik bertajuk “Tom Lembong, Keadilan, dan Imunitas Jaksa” yang digelar Forum Kajian Demokrasi Kita (FOKAD) secara daring melalui Zoom, pada Jumat, 14 Maret 2025.
Pra peradilan menguak fakta baru
Tim hukum Tom Lembong akhirnya mengajukan pra peradilan untuk menguji penetapan tersangka dan penahanannya. Pada 19 Oktober 2024, ditemukan fakta bahwa Kejaksaan Agung belum memiliki bukti mutlak yang menunjukkan keterlibatan Tom Lembong dalam kasus korupsi.
Zaid menekankan bahwa bukti mutlak dalam kasus korupsi harus menyertakan perhitungan kerugian negara yang resmi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Namun, dalam pra peradilan, terungkap bahwa Kejaksaan Agung baru melakukan gelar perkara bersama Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP), bukan dengan BPK, sehingga tidak ada audit resmi yang menetapkan adanya kerugian negara.
Selain itu, Tom Lembong baru dimintai klarifikasi pada 20 Januari 2025. Anehnya, klarifikasi itu hanya terkait kebijakan impor, bukan dengan angka-angka kerugian negara yang sebelumnya digaungkan oleh kejaksaan.
Zaid juga mempertanyakan ketidakkonsistenan angka kerugian negara dalam kasus ini. Ketika Tom Lembong pertama kali ditetapkan sebagai tersangka, disebutkan bahwa negara dirugikan Rp400 miliar. Namun, setelah audit BPKP pada Januari 2025, angka tersebut berubah menjadi Rp578 miliar. “Bagaimana bisa seseorang ditahan atas dasar angka yang tidak pasti? Ini adalah masalah serius dalam kepastian hukum,” ujar Zaid.
Inkonsistensi dalam dakwaan
Tim kuasa hukum Tom Lembong juga mengajukan eksepsi terhadap dakwaan yang diajukan oleh kejaksaan. Menurut mereka, Tom Lembong dituduh melanggar berbagai regulasi, seperti Undang-Undang Perdagangan, Perlindungan Petani, serta Peraturan Menteri Perdagangan terkait impor gula. Namun, tidak ada korelasi antara pelanggaran tersebut dengan pasal 2 ayat 1 dan pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) yang digunakan dalam dakwaan.
Kejaksaan pun tidak mampu menjelaskan secara rinci bagaimana pelanggaran tersebut berkaitan dengan tindak pidana korupsi. Sayangnya, Pengadilan Negeri tetap menerima dakwaan dan meminta agar pokok perkara diuji di persidangan.
Perlunya reformasi dan pengawasan terhadap aparat hukum
Kasus ini menunjukkan bahwa masih ada banyak celah dalam sistem penegakan hukum di Indonesia. Oleh karena itu, pengawasan terhadap aparat penegak hukum, terutama kepolisian dan kejaksaan, menjadi sangat penting. Sayangnya, lembaga pengawas seperti Komisi Kejaksaan dan Komisi Kepolisian dinilai belum berperan maksimal dalam menindak dugaan penyimpangan oleh aparat hukum.
“Kami akan terus memperjuangkan hak-hak klien kami. Ini bukan sekadar membela individu, tetapi juga membela kepastian hukum bagi seluruh warga negara,” pungkas Zaid.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Latifina ini, selain Zaid Mushafi, turut hadir narasumber lain, yaitu Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA), Syahril Syafiq Corebima (Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Bung Karno), Virdian Aurelio (Ketua BEM Universitas Padjadjaran 2022), dan Prof. M. Ali Safa’at (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya).
Diskusi ini berfokus pada peran jaksa dalam sistem peradilan, termasuk aspek imunitas yang mereka miliki dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, kasus Tom Lembong juga menjadi sorotan dalam acara ini, khususnya dalam konteks keadilan dan perlindungan hukum. Diskusi ini menjadi wadah penting bagi mahasiswa, akademisi, dan praktisi hukum untuk memahami lebih dalam isu hukum yang sedang berkembang di Indonesia. (AM)
Discussion about this post