Daily News | Jakarta – Panggilan untuk menjaga republik kita adalah perjuangan besar melawan segala bentuk kejahatan atas nama negara, perusakan hukum, serta populisme otoritarianisme yang merusak keadaban politik.
Begitulah, momen bersejarah pada 22 Maret 1928 di Rotterdam, Belanda, menjadi refleksi penting bagi kondisi Indonesia saat ini. Saat itu, seorang mahasiswa berusia 26 tahun, Muhammad Hatta, menyatakan dengan tegas bahwa hanya ada satu tanah air yang disebut tanah airku. Pernyataan tersebut bukan sekadar slogan, melainkan panggilan untuk mencintai, merawat, dan menjaga republik ini.
Hal ini kembali ditekankan oleh Prof. Dr. Sukidi Mulyadi, seorang akademisi sekaligus aktivis kebhinekaan, dalam Diskusi Publik dan Seruan Salemba Kedua! Menjelang Peringatan 70 Tahun Konferensi Asia Afrika, Kamis, 27 Februari 2025 yang disiarkan melalui livestreming YouTube dikutip KBA News.
Menurut dia, Seruan Salemba Kedua ini mengingatkan bahwa perjuangan mempertahankan republik bukan sekadar menjaga wilayah, tetapi juga melawan berbagai bentuk kejahatan yang merusak tatanan negara. “Panggilan untuk menjaga republik kita adalah perjuangan besar melawan segala bentuk kejahatan atas nama negara, perusakan hukum, serta populisme otoritarianisme yang merusak keadaban politik,” tegasnya.
Korupsi merajalela, rakyat menderita
Salah satu kejahatan terbesar yang menggerogoti bangsa ini adalah korupsi. Ironisnya, di tengah praktik korupsi yang sudah mencapai angka triliunan rupiah, masih ada rakyat yang meninggal karena keterbatasan akses medis, anak-anak mengalami stunting, dan masyarakat yang berjuang hanya untuk bertahan hidup. “Ini adalah kejahatan luar biasa, sangat tidak peka dan tidak memiliki simpati terhadap sesama,” tambah Sukidi.
Korupsi yang dilakukan oleh para pejabat negara bukan sekadar tindakan kriminal, tetapi juga bentuk pengkhianatan terhadap amanah rakyat. Sementara para koruptor hidup dalam kemewahan, masyarakat kecil harus bergulat dengan kesulitan ekonomi.
Hukum dijadikan senjata politik
Tak hanya korupsi, persoalan hukum juga menjadi sorotan. Seharusnya, supremasi hukum menjadi pilar utama dalam negara demokrasi. Namun, yang terjadi justru sebaliknya, di mana hukum dijadikan alat untuk melanggengkan kekuasaan.
“Ketika hukum tidak lagi menjadi alat keadilan, tetapi digunakan untuk menyingkirkan pesaing politik, maka demokrasi telah kehilangan rohnya,” jelas Sukidi.
Fakta di lapangan menunjukkan bagaimana hukum tajam ke bawah, tetapi tumpul ke atas. Mereka yang berseberangan dengan penguasa kerap menjadi sasaran pemeriksaan hukum, sementara yang berada di lingkaran kekuasaan justru dilindungi.
Mewujudkan earisan Bung Hatta
Sukidi mengutip pernyataan Bung Hatta yang sejak awal telah mengingatkan bahaya tirani pascakemerdekaan. Ia khawatir bahwa setelah penjajahan kolonial berakhir, justru muncul bentuk penindasan baru dari pemimpin-pemimpin bangsa sendiri. “Sayangnya, kekhawatiran itu kini menjadi kenyataan,” katanya.
Maka, sudah saatnya rakyat bersatu dalam satu suara untuk menegakkan kembali keadilan dan menjaga republik ini dari kehancuran. Supremasi hukum harus ditegakkan, korupsi diberantas tanpa pandang bulu, dan demokrasi dikembalikan pada esensinya—yaitu kekuasaan yang berpihak kepada rakyat, bukan kepada segelintir elite yang rakus akan kuasa.
“Sebagaimana Bung Hatta pernah menyerukan, “Hanya ada satu tanah air, yaitu tanah airku.” Dan sebagai rakyat, mencintai tanah air bukan hanya dengan kata-kata, tetapi dengan tindakan nyata untuk menjaga keadilan dan demokrasi tetap tegak di negeri ini,” jelasnya. (HMP)
Discussion about this post