Daily News | Jakarta – Tanggal 28 Januari 2025 mendatang merupakan 100 hari pertama masa kepemimpinan pemerintahan Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka.
Periode ini menjadi penting untuk dievaluasi sebagai salah satu indikasi arah pemerintahan dalam beberapa tahun mendatang.
Namun, Aksi Kamisan menilai, selama hampir 100 hari sejak dilantik pada tanggal 20 Oktober 2024, pemerintahan Prabowo- Gibran dan Kabinet Merah Putih tidak memperlihatkan keseriusan dalam memperbaiki situasi penegakan hak asasi manusia (HAM).
“Sebagaimana terbukti dari agenda Asta Cita yang minim memuat komitmen terhadap pemajuan HAM ataupun penegakan demokrasi,” demikian keterangan tertulis diterima KBA News, Jumat, 24 Januari 2025.
Meski kini Kementerian HAM telah terbentuk, Menteri HAM, Natalius Pigai, menyatakan bahwa kementerian tersebut tidak memiliki program khusus selama 100 hari pertama dan hanya memiliki program yang disebut sebagai “emergency conditions”.
Dalam 100 hari kerja ini juga telah muncul sejumlah pemyataan kontroversial yang mengindikasikan ketidakseriusan pemerintah dalam menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM.
Padahal, pola-pola pelanggaran HAM terus berulang dan semakin mengkhawatirkan. Kekerasan oleh aparat keamanan terhadap warga sipil terus berlanjut, mulai dari tindakan represif terhadap warga sipil yang mengikuti aksi protes damai hingga tindak penyiksaan dan penembakan yang menyebabkan kematian.
“Sebagian besar kasus tidak diselesaikan secara berkeadilan, bahkan dalam banyak kasus tidak dilakukan penyidikan secara tuntas,” jelasnya.
Dalam 100 hari awal pemerintahan baru, tidak ada upaya perbaikan untuk memastikan akuntabilitas aparat dan mencegah keberulangan kekerasan.
Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) juga mencatat bahwa sepanjang 100 hari masa pemerintahan Prabowo-Gibran, terdapat setidaknya 12 peristiwa kekerasan yang dilakukan oleh anggota TNI dan tidak ada penyelesaian secara berkeadilan.
Namun, alih-alih diadakan evaluasi, tingginya angka kekerasan aparat ini justru diikuti dengan pengerahan aparatur keamanan negara untuk mengamankan proyek-proyek negara.
Beberapa Proyek Strategis Nasional (PSN) kini juga dikawal ketat oleh pihak militer, seperti food estate, Rempang Eco-City, hingga program Makan Bergizi Gratis.
Pelibatan aparat militer seperti ini membuka ruang untuk merepresi adanya suara-suara kritis dan “melancarkan” proyek-proyek negara dalam nama pertumbuhan ekonomi
Selain itu, dalam 100 hari pertama masa pemerintahan baru, tidak ada kemajuan dalam penyelesaian pelanggaran berat HAM.
Menteri Koordinator Bidang Hukum, HAM, Imigrasi, dan Pemasyarakatan, Yusril Ihza Mahendra, justru memberikan pernyataan yang nirempati dan tidak akurat mengenai kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan menyebut bahwa Peristiwa 98 bukanlah pelanggaran berat HAM.
Tidak ada kemauan politik ataupun upaya yang diperlihatkan Negara untuk melanjutkan proses hukum dan menuntaskan kasus- kasus pelanggaran HAM melalui proses peradilan.
“Bahkan, pemberitaan Tempo pada bulan November menyebut bahwa upaya Komnas HAM untuk melakukan penyelidikan atas kasus-kasus pelanggaran berat HAM, termasuk pembunuhan pembela HAM Munir Said Thalib, digembosi oleh pihak-pihak di lingkaran kekuasaan yang tidak menginginkan adanya penetapan kasus Munir sebagai pelanggaran berat HAM pada masa 100 hari pemerintahan Prabowo-Gibran,” jelasnya.
Seratus hari pertama masa pemerintahan Prabowo-Gibran menunjukkan stagnasi atau bahkan memburuknya situasi hak asasi manusia dan demokrasi di Indonesia.
Tiadanya langkah penyelesaian secara yudisial atas pelanggaran berat HAM masa lalu berkesan adanya niatan strategis yang tersembunyi. Maraknya kekerasan aparat dengan minimnya akuntabilitas menyebabkan berulangnya pola-pola pelanggaran HAM.
“Kami menegaskan bahwa pengabaian Negara atas kewajibannya dalam menghormati, melindungi, menegakkan dan memenuhi HAM hanya akan semakin menggerus demokrasi, mengesampingkan kesejahteraan dan kepentingan rakyat, serta melanggangkan impunitas,” katanya.
Untuk itu Aksi Kamisan menyerukan tiga hal. Pertama, Jaksa Agung segera menindaklanjuti berkas penyelidikan Komnas HAM terkait kasus-kasus pelanggaran berat HAM dan membentuk Tim Penyidik ad hoc sesuai mandat Pasal 21 ayat (3) UU No. 26/2000 tentang Pengadilan HAM
Kedua, penyelidikan pro-justitia Komnas HAM atas kasus-kasus dugaan peristiwa pelanggaran berat HAM, termasuk kasus pembunuhan pembela HAM Munir Said Thalib, harus berjalan secara independen dan tidak boleh diintervensi oleh pihak manapun.
“Ketiga, pemerintah dan DPR RI memastikan kebijakan-kebijakan baru tidak berdampak buruk bagi kualitas hidup, pemenuhan hak-hak masyarakat, serta menunjukkan keberpihakan kepada rakyat,” ujarnya. (AM)