Daily News | Jakarta – Hasil penyelidikan Federasi Sepakbola Italia (FIGC) yang dipimpin mantan hakim yang terkenal jujur dan bersih, Franco Borrelli, mengungkap dalang skandal tersebut adalah mafia judi.
Ketika ditugaskan meliput Piala Dunia 1990 di Italia, yang pertama terbersit di pikiran saya adalah kata “mafia”. Karena kata ini umum sekali diucapkan sebagian besar masyarakat kita di Indonesia.
Menurut KBBI, arti kata “mafia” adalah: perkumpulan rahasia yang bergerak di bidang kejahatan. Kemudian oleh masyarakat umum dimaknai secara sederhana sebagai kegiatan jahat.
Beberapa literatur menjelaskan bahwa kata MAFIA sendiri adalah akronim dalam bahasa Italia: Morte Alla Francia Italia Anela (Kematian Oleh Perancis adalah Tangisan Italia). Sebuah ungkapan dari pulau Cicilia. Merujuk pada peperangan kedua bangsa di abad ke-19.
Ketika PSSI memutus kontrak Shin Tae-yong awal Januari lalu, kata “mafia” juga dengan ringan muncul ke permukaan dunia maya.
Sifatnya tentu spekulati
Meskipun semua orang tahu bahwa pemecatan pelatih di dunia sepakbola modern adalah hal yang biasa saja. Pelatih juara Piala Dunia hingga ahli strategi jenius sekelas Jose Mourinho, Carlo Ancelloti atau Roberto Mancini juga pernah dipecat.
Karena hasil yang bisa dicapai sebuah tim ditentukan oleh dua faktor utama: kualitas pelatih dan kualitas pemain. Tidak bisa hanya salah satu yang berkualitas. Idealnya, level kualitas pelatih dan pemain setara.
Lalu apa hubungan mafia dan sepakbola?
Masih ingat hebohnya skandal suap Totonero tahun 1980 yang melibatkan legenda Italia, Paolo Rossi? Bahkan melibatkan klub raksasa seperti AC Milan, Lazio, dsb?
Atau skandal suap memalukan Calciopoli yang melibatkan klub sekelas Juventus di Seri A Italia 2006? Sehingga gelar juara Seri A Juventus musim 2005/2006 dicopot dan didegradasi ke Seri B?
Hasil penyelidikan Federasi Sepakbola Italia (FIGC) yang dipimpin mantan hakim yang terkenal jujur dan bersih, Franco Borrelli, mengungkap dalang skandal tersebut adalah mafia judi.
Legenda Diego Maradona dalam wawancara televisi 2005 antara lain mengatakan, “Saya bergaul dengan orang-orang yang salah.” Pernyataan ini menjadi konfirmasi pertamanya soal hubungan gelapnya dengan kelompok mafia besar Comora selama memperkuat Napoli (1984-1991). Tahun 1991 Maradona ditangkap karena keterlibatannya dalam kasus kepemilikan kokain.
Dan semua orang tahu bahwa hampir tidak ada sendi kehidupan di Italia yang tidak terkait dengan jaringan mafia. Para pelaku jejaring mafia sendiri disebut Mafioso (pria terhormat).
Tahun 2010, Europol dan Interpol gencar memburu para mafia sepakbola. Mereka diduga sudah beroperasi (judi ilegal dan suap) di seluruh dunia (80 negara). Mulai dari level Piala Dunia, kompetisi kelas atas di Eropa, hingga kompetisi regional di Asia Tenggara.
Interpol mencurigai sekitar 700 laga (380 pertandingan di Eropa) sudah “dimainkan” jaringan mafia sepakbola.
Pada 18 September 2013, Interpol bekerja sama dengan Kepolisian Singapura (SPF) dan Biro Investigasi Praktek Korupsi Singapura (CPIB) menangkap gembong mafia sepakbola, Tan Seet Eng dan 13 anggotanya di sebuah apartemen di Singapura. Seet Eng adalah warga negara Singapura yang selama bertahun- tahun lolos dari buruan Europol.
Apakah setelah penangkapan Seet Eng dan gengnya persoalan selesai? Tentu tidak.
Kita masih ingat skandal suap Liverpool yang melibatkan kiper legendarisnya, Bruce Grobbelaar tahun 1993? Sang penyuap, Heng Suan Lim (bandar judi asal Malaysia) di persidangan berdalih bahwa Grobbelaar menerima uang suap: karena dia memiliki urusan bisnis dengan seorang pengusaha asal Indonesia yang tidak disebutkan namanya.
Kasus suap Grobbelaar dibongkar koran Then Sun tahun 1994. Sang kiper legendaris asal Zimbabwe itu terbukti membiarkan gawangnya kebobolan 0-3 oleh klub promosi Newcastle United demi uang suap 40 ribu pounds (kurs saat ini sekitar Rp.796 juta).
Dengan sepenggal fakta di atas, apakah kita masih menganggap cerita soal mafia dan sepakbola adalah hal yang naif? Termasuk di Indonesia?
Jadi ingat perbincangan saya dengan mantan wasit FIFA dan wakil ketua Komisi Wasit, Djafar Umar. Saat itu dia baru saja dihukum 20 tahun oleh PSSI (yg kemudian dikurangi hukumannya) karena skandal suap mafia wasit 1998. Bersama 39 wasit Indonesia lainnya, dia terciduk oleh Tim Penanggulangan Masalah Perwasitan yang dipimpin Mayjen Adang Ruchiatna. Tapi tidak satu pun yang diproses pidana.
Menariknya, satu dari 40 wasit yang terciduk dan sempat dihukum oleh PSSI tahun 1998 (Nasirudin), ditangkap dan divonis 30 bulan penjara oleh pengadilan Singapura karena terlibat skandal suap di SEA-Games 2015.
Saat perbincangan tahun 2005 di kawasan Senayan itu Djafar mengatakan: dia bukan mafia wasit seperti yang dituduhkan. “Mafianya ada di dalam sana,” katanya sambil menunjuk ke arah Stadion GBK Senayan.
Semoga saat ini sepakbola Indonesia memang sedang baik-baik saja. (DJP)