Daily News | Jakarta – Penanganan kasus hukum korupsi sangat buruk dan melibatkan banyak orang di lembaga yang seharusnya menjadi penjaga dan pengawal hukum. Kita bisa katakan selama dua periode memerintah , Jokowi memberikan dan membiarkan contoh tidak benar yang bisa memperburuk situasi penegakan hukum di tanah air.
Praktisi dan pengamat hukum alumni Fakulktus Hukum UI Juju Purwantoro menyatakan hal itu kepada KBA News, Kamis, 2 Januari 2025 sebagai tanggapan evakuatif dan kaladeskopis atas penegakan hukum di tanah air selama setahun lalu pada khususnya dan selama 10 tahun pemerintahan Jokowi pada umumnya. “Penegakan hukum yang tebang pilih, diskrimantif, tajam ke bahwa tetapi tumpul ke atas,” kata salah seoang Presiden Forum Alumni Kampus Seluruh Indonesia (AKSI) itu.
Dia menyinggung beberapa kasus hukum yang mendapat perhatian besar dari masyarakat. Satu di antaranya tentang Jampidsus Kejaksaa Agung yang menyita uang lebih dari Rp 920 Milyar dan emas Aneka Tambang seberat 51 Kg dari mantan petinggi MA Zaroukh Richard. Dia diduga menjadi makelar kasus di MA yang terdakwahnya adalah Ronald Tanur yang merupakan pejabat tinggi di Dirjen Pajak. Bisa dibayangkan kasus itu melibatkan uang hampir Rp 1 Triliun.
Tidak bisa dibayangkan, katanya heran, pejabat MA yang mestinya menjadi penjaga moral dan kemurnian hukum malah menjadi makelar suap-menyuap, pungli dan mereka yang berusaha menjadi calo hukum di MA. Sebagai orang yang ingin menegakkan ketegasan dan kesamaan di mata hukum, tidak bisa mentolerir praktek-praktek busuk semacam itu.
“Itu terbongkar baru-baru ini padahal dia sudah menjabat di sana selama 5 tahun. Dia tidak hanya mengumpulkan uang dalam rupiah tetapi penyidik juga menemukan Sing$ 74.000, US$71.000, termasuk jumlah yag sama dalam Uero, dan dalam H$ sebesar 483 ribu. Semua itu ditemukan ketika penyidik menggeledah rumah ZR di kawasan Senayan,” kata Juju.
Yang memalukan, tambahnya lagi, kasus ini juga melibatkan Majelis Hakim perkara tersebut di PN Surabaya. Mereka itu sudah ditangkap dan akan diadili secara hukum. “Setidaknya kasus itu membuat orang pertambah skeptis dan apatis atas praktek hukum di tanah air. Kewibawaan hukum dinodai justru oleh aparat penegak hukum sendiri,” kata pengacara yang sering membela secara probono itu.
Kasus lain yang, menurutnya, diskriminatif adalah Kasus Tom Lembong. Dia dijadikan TSK dan ditangkap dalam kasus impor gula. Tom Lembong cuma menjabat Mendag selama satu tahun. Ini aneh dan diskriminatif sebab Mendag sebelum dan sesudahnya juga melakukan impor gula. Kenapa cuma Tom Lembong saja yang jadi tersangka. Malah mengimpor lebih besar seperti Enggartiasto Lukioto dan Zulkifli Hasan tetap berkeliaran bebas sampai sekarang.
Kasus Judi Online
Kasus lain adalah Judi Online. Ini tidak hanya melibatkan orang biasa tetapi juga pejabat di Kemeninfo termasuk menterinya Budie Arie Setiadi. Dia hanya diperiksa satu kali tetapi anak buah di bawahnya ditangkap. Ini menunjukkan hukum yang tajam ke bawah tetapi tumpul ke atas. Sampai sekarang Budi Arie belum naik status ke Penyidikan.
“Patut diduga Budi Arie itu layak dijadikan tersangka karena enam anak buahnya sudah dijadikan tersangka. Perkembangan kasus Judi Online itu sudah menetapkan 28 Tsk tetapi Budi Arie sampai saat ini masih bebas malah diangkat oleh Prabowo menjadi Menteri Koperasi. Sangat ironi, memilukan dan merendahan hukum,” katanya.
Yang sangat melukai perasaan keadilan masyarakat adalah vonis Kasus Harvey Moeis oleh PN Tipikor (23/12/2024) dengan penjara 6,5 tahun. Kasus korupsi yang merugikan negara sejumlah Rp300 Triliun, menuai kontroversi lantaran dinilai tidak sebanding dengan nilai kerugian negara yang ditimbulkan dalam perkara korupsi tata niaga timah tersebut. Hukuman tambahan kepada Harvey juga harus membayar denda Rp1 miliar, serta dibebankan hukuman uang pengganti Rp210 miliar.
Selain itu, tambah Juju, Harvey juga didakwa melakukan tindak pidana dugaan pencucian uang (TPPU) dengan dalih biaya CSR. Uang yang diterima Harvey juga mengalir ke sejumlah pihak, termasuk untuk kebutuhan komersial istrinya Sandra Dewi. Diantaranya pembelian puluhan tas mewah bermerek internasional.
Uang itu juga pelunasan rumah atas nama Sandra Dewi yang berlokasi di The Pakubuwono House, Town House F RT 3 RW 1 Kel. Gunung, Kec. Kebayoran Baru, Jakarta Selatan. Juga pembelian untuk Sandra Dewi sejumlah 141 perhiasan dengan berbagai macam bentuk. Harvey juga membeli delapan mobil mewah melalui, yakni bermerek Vellfire, Lexus RX, Ferrari, Porsche hingga Rolls Royce.
Pihak JPU telah mengajukan upaya hukum banding terkait dengan vonis Harvey Moeis, dkk. Alasannya, banding itu dilakukan karena pihaknya menilai vonis yang dijatuhkan terhadap kelima terdakwa itu belum setimpal. Vonis hakim tersebut, menurut JPU masih “belum memenuhi rasa keadilan masyarakat”.
Pihak JPU beralasan, majelis hakim PN tindak pidana korupsi (Tipikor) dalam putusannya tidak mempertimbangkan dampak dari kasus megakorupsi timah terhadap masyarakat. “Majelis Hakim tidak mempertimbangkan dampak yang dirasakan masyarakat terhadap kerusakan lingkungan akibat perbuatan para Terdakwa serta terjadi kerugian negara yang sangat besar. Bahwa vonis itu belum adil jika dibandingkan dengan kerugian negara dari kasus megakorupsi yang mencapai Rp300 triliun itu”.
Rasa keadilan masyarakat dipertaruhkan. Kita tidak bisa melihat penyimpangan dan pemerkosaan hukum itu terjadi setiap hari yang ironisnya dilakukan oleh para penegak hukum seperti polisi, jaksa dan hakim. “Semboyan bahwa Hukum harus ditegakkan walau langit runtuh tidak terjadi di era Jokowi. Semoga ada perbaikan di era Prabowo,” demikan Juju Purwantoro. (AM)
Discussion about this post