Daily News | Jakarta – “Sudah cukup rasanya selama 10 tahun Jokowi mengobrak-abrik demokrasi dan keadilan. Dia sudah membuat negara ini jatuh dalam hutang, kehancuran ekonomi, korupsi gila-gilaan, kebohongan, penipuan, nepotisme, dan perampasan tanah rakyat. Saatnya kita melawan.”
Maka, kasus dugaan ijazah palsu sarjana S-1 yang menyangkut mantan Presiden Jowo Widodo terus menebar kontroversi. Setelah dua pekan lalu, para aktivis demokrasi mendatangi Unversitas Gajah Mada (UGM) di Yogyakarta dan kediaman Jokowi di Solo untuk menanyakan dan menyelidiki hal ikhwal keaslian ijazah tersebut, pekembangan selanjutnya sekelompok orang yang mengatasnamakan diri Pemuda Patriot Nusantara membuat laporan ke Polda Metro Jaya, Rabu lalu.
Mereka melaporkan empat orang yang sangat aktif mempersoalkan kasus ijazah palsu Jokowi itu, yaitu Roy Suryo, Rismon H Sianipar (keduanya ahli IT), Rizal Fadillah (Kolumnis) dan Tifauzia Tyassuma (dokter). Selain Rizal Fadillah, ketiga tokoh yang teradukan itu adalah alumni UGM Yogyakarta yang tidak rela almamater mereka dijatuhkan dan direndahkan oleh kasus ijazah palsu
Laporan tersebut diajukan ke Polres Metro Jakarta Pusat, sedangkan sangkaan pelanggaran pasal yang digunakan adalah Pasal 160 KUHP tentang Penghasutan. “Mereka ingin para pembongkar kasus ijazah palsu itu berhenti. Kita tidak tahu siapa mereka tetapi, bisa diduga mereka tentunya sudah berkoordinasi dengan Jokowi atau minimal dengan orang-orang dekatnya,” kata Muslim Arbi, aktivis yang ikut memberikan dukungan moril kepada empat teradu itu.
Menurut alumni ITB Bandung itu, para terlapor itu bisa saja melaporkan balik Jokowi dan para pelapor itu ke kepolisian. Mereka bisa dilaporkan karena dianggap menghalangi publik untuk mengetahui dan mendapat informasi publik yang mereka anggap penting untuk diketahui sebagaimana diatur dalam UU No 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Publik.
Dikatakannya, UU yang ditandatangani oleh Presiden SBY itu menjamin hak publik untuk mengetahui dan mengakses suatu informasi penting. Hal itu berdasarkan kepada pemikiran bahwa informasi publik merupakan hak azasi manusia yang tidak boleh dilemahkan dan dilecehkan oleh siapapun. “Para pelapor itu sudah mengganggu dan menghalangi hak para terlapor untuk mengetahui apa yang mereka anggap penting,” kata Muslim Arbi yang juga adalah Direktur Gerakan Perubahan Indonesia itu.
Perkembangan seusai laporan ke Polres Metro Jakarta Pusat itu, ratusan aktivis, yang terdiri dari para pengacara dan pemangku gerakan demokrasi menyatakan dukungan kepada keempat tokoh yang dilaporkan itu. Mereka lakukan itu untuk memberikan dukungan dan konfirmasi berada di jalur perjuangan bersama-sama melawan ulah Jokowi mengacak-acak demokrasi di tanah air.
Sudah ratusan orang
Hingga pagi Jum’at yang tercatat menandatangi dukungan untuk keempat orang itu lebih dari 500 orang. Para pengacara/lawyer akan mendampingi secara hukum antara lain: Ahmad Khozinudin, S.H, Dr. Marwan Batubara, Tito Rusbandi, Sutoyo Abadi (Kajian Merah Putih), Ismar Syafruddin, SH,MA, Kurnia Tri Royani, S.H, Fitransyah Delly Asbirul, SH, Rahmatullah, SH, Deni Apriandi, SE., SH, MH, Merry, S.Ag, Rahmat Himran, Setya Dharma Pahlevi, Asido Jamot Tua Simbolon, SH, Azam Khan, SH.
Selanjutnya, Juju Purwantoro, SH, MH, Dr Herman Kadir, SH, M.Hum, Muhammad Chirzin, Purwi Lestari Handayani, SM, M.Ag, Dr. NH. Sumarta, SE. MSi Ak. CACP. (Presidium Forum AKSI), Dr (C) Sugeng Martono, SH, MH, Kartika P., SH, MN LAPONG, Elyan V Hakim – Bdg, Zulkifli Salman, Dedi Suhardadi, SH, SE, Meidy Juniarto, S.H., U. Susiasih, SH, MH, VirCA Dewi, Yusuf (Surabaya), Syech Pujianto, Syaifullah Nur Iqbal Mustofa, TB. Afifuddin, Zahirman, SH (Pontianak), Dr. Julia Satari, Merry Samiri, Ahmad Thoyyib, Lukmanul Hakim, Luki Sambas, Wati Salam, Jatiningsih, Noer Bambang S., Andhika Dian Prasetyo, SH, MH, Muhammad K Awaludin, DR.HJ.R.A.Juli AW Laya Koto, Prof Widi A Ptatikno, Endi Kusuma Hermawan, S.H.
Heru Purwanto, SH, Dr. H. Sulthoni, SH, Kol TNI Purn Alan Sahar Harahap, SH, MH, Kol TNI Purn M. Nur Saman, SE, M.Si, Laksda TNI Purn Widiarto, Bea Thor Suryadi, Muhammad Yusran Lessy, S.H, Fawaz Basyarahiel, SH, MH, Noor Alam, SH, MBA, MS, Siti Mariffah, SH, Dhio Suharmunastrie, SH, Dr Memet Hakim, Kol TNI Purn Sugeng Waras, Muslim Arbi, Dr. Ahmad Yani, SH, MH., Nora Yossenovia, SH, MH.
Muslim meyakini bahwa para pendukung keempat pendekar demokrasi dan hak-hak sipil itu akan bertambah dalam beberapa hari bisa mencapai lebih dari 1.000 aktivis. “Sudah cukup rasanya selama 10 tahun Jokowi mengobrak-abrik demokrasi dan keadilan. Dia sudah membuat negara ini jatuh dalam hutang, kehancuran ekonomi, korupsi gila-gilaan, kebohongan, penipuan, nepotisme, dan perampasan tanah rakyat. Saatnya kita melawan,” demikian Muslim Arbi.
Ingin dituntaskan
Para aktivis demokrasi yang mempersoalkan ijazah mantan Presiden Jokowi yang diragukan keasliannya dipastikan akan menghadapi kasus hukum pelaporan atas empat aktivis yang dilakukan orang yang mengatasnamakan sebagai Relawan Pemuda Patriot Nusantara, melaporkan kepada kepolisian pihak-pihak yang menuding soal ijazah palsu Jokowi. Mereka siap menghadapi demi terbukanya informasi tentang kebenaran ijazah Jokowi.
Hal tersebut dikatakan oleh Anggota Tim Kuasa Penggugat Ijazah Palsu Jokowi Juju Purwantoro kepada KBA News, Jum’at, 25 April 2025 menyikapi pengaduan ke polisi yang ditujukan kepada empat aktivis demokrasi dan keterbukaan publik, yaitu Roy Suryo, Rismon H Sianipar, Rizal Fadillah dan Tifauzia Tyassuma. Keempat tokoh itu memang gigih dan pantang menyerah menyuarakan bahwa ijazah sarjana Jokowi di Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta itu palsu.
Sebagaimana diketahui, pada Rabu 23 April ada laporan dari Pemuda Patriot Nusantara di Polres Metro Jakarta Pusat, yaitu tentang tudingan ijazah palsu mantan presiden Jokowi. Laporan tersebut teregister dengan nomor LP/B/978/IV/2025/SPKT/POLRES METRO JAKPUS/POLDA METRO JAYA. Polisi sudah menerima laporan itu dan tentu saja langsung membuat heboh.
Keempat orang tokoh terlapor itu disangkakan melanggar Pasal 160 KUHP, tentang penghasutan mengenai tuduhan ijazah palsu Jokowi. Alasan pelapor, akibat tudingan ijazah palsu Jokowi, sehingga telah terjadi kegaduhan di tengah masyarakat. Lebih lanjut, para Pelapor juga beragumen telah terjadi ketidaktertiban dan keresahan baik UGM, maupun di sekitar rumah Jokowi di Solo. Mereka beralasan “negara harus hadir memberikan kepastian atas kegaduhan ini”.
Sebagai orang yang ikut dari asal di kasus ijazah palsu itu, Juju menyatakan, bahwa sampai saat ini memang Jokowi belum juga bisa menunjukkan ijazah aslinya ke depan publik. Walaupun mereka, Tim Pembela Umat dan Agama (TPUA) telah dua kali menggugat ijazah Jokowi secara perdata di Pengadilan Jakarta Pusat. Juga atas tuntutan pidana (sumpah Mubahalah) Bambang Tri dan Ustadz Gus Nur tentang Ijazah palsu Jokowi di PN Surakarta.
Ditambahkannya, walaupun telah dilakukan proses persidangan sebanyak tiga kali, pihak Jokowi tidak juga bisa menunjukkan ijazah aslinya. Klaim kuasa hukum Jokowi, bahwa mereka telah memenangkan persidangan, adalah kebohongan publik belaka. Dalam persidangan kami tidak pernah dikalahkan oleh Jokowi, karena belum masuk pokok perkara. Penggugat hanya dinyatakan N.O berarti “Niet Ontvankelijk Verklaard” atau “tidak dapat diterima” oleh majelis hakim.
Tidak bisa tunjukkan
Ditegaskan, jelas terbukti dalam persidangan perdata dan pidana, Jokowi atau kuasanya, tidak pernah (bisa) menunjukkan alat bukti yang sah tentang keaslian (ijazahnya). Sesuai pasal 1866 KUH Perdata, alat buktian meliputi : “bukti tertulis; bukti saksi; persangkaan; pengakuan; dan sumpah”.
Dijelasnnya pula, tentang penyampaian pendapat di muka umum, hal itu juga dilindungi sesuai; Pasal 28 UUD 1945, bahwa “kebebasan berpendapat, berserikat, dan berkumpul ditetapkan dengan undang-undang”. Demikian juga diatur dalam Pasal 9 UU No.9/1998 Tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat Dimuka Umum.
Bisa disimpulkan, tambahnya, perihal laporan polisi terhadap Roy Suryo, dkk, sungguh aneh, di luar nalar dan inkonstitusional. Perihal ijazah Jokowi, mereka sebagai pakar sesuai bidangnya justru mereka berusaha mencari kebenaran formil (ijazah Jokowi). Mereka dalam mengungkap keaslian ijazah asli Jokowi, dengan cara memberikan informasi/pencerahan kepada publik sesuai keahliannya masing-masing (personal skill).
Perlu juga diingat, bahwa pendapat atau pemikiran seseorang tidak dapat dipidana berdasarkan Prinsip “tiada pidana tanpa kesalahan” (asas nulla poena sine lege). Kebebasan berekspresi atau “menyampaikan pendapat” juga dilindungi undang- undang, selama tidak melanggar hukum. Kecuali, jika pendapat tersebut mengandung unsur-unsur tindak pidana, misalnya ujaran kebencian atau penodaan agama.
Asas kesalahan ini berarti seseorang tidak bisa dipidana bila tidak ada niat jahat (mensrea) dalam dirinya untuk melakukan perbuatan pidana (actus rius) tersebut. Jadi harus ada niat jahat (mens rea) dan perbuatan (actus reus) baru seseorang bisa dipidana. Atau sering diistilahkan dengan prinsip “an act does not make a person guilty unless his mind is guilty”
Jadi, Juju memastikan, dalam kasus ijazah palsu Jokowi itu mereka menganggap harus terang benderang dan tidak ada yang ditutupi. “Publik harus mengetahui apakah mantan Presidennya memang jujur dan benar. Untuk memudahkan perkara dia mestinya langsung menunjukkan mana ijazah aslinya. Tidak boleh dia melakukan upaya hukum culas dan tidak transparan dengan mempolisikan para pencari kebenaran,” demikian Juju Purwantoro. (DJP)