Daily News | Jakarta – Jakarta menjadi sorotan ketika fenomena Gercos atau Gerakan Coblos Semua marak terjadi. Hal ini dipandang sebagai respons spontan dari masyarakat yang kecewa setelah Anies Baswedan tidak bisa maju dalam pemilihan.
Fenomena ini menggambarkan kesadaran publik Jakarta untuk tetap datang ke tempat pemungutan suara (TPS) dan menyampaikan sikap mereka dengan mencoblos seluruh pasangan calon (paslon).
Eko Dananjaya, seorang aktivis prodemokrasi menjelaskan, tindakan ini dianggap lebih mulia daripada tidak datang ke TPS. “Kalau tidak datang, surat suara yang tidak terpakai bisa dimanfaatkan oknum untuk dicoblos ke salah satu paslon tertentu, dan itu lebih berbahaya bagi demokrasi kita,” ujarnya saat dihubungi KBA News, Jumat, 4 Oktober 2024.
Menurut dia, publik Jakarta yang kecewa, terutama pendukung Anies, memilih untuk tetap menggunakan hak pilih mereka. “Pesan yang ingin disampaikan adalah: ‘Kami tidak mencoblos kalian karena sosok yang kami dukung tidak ada di surat suara,” tambahnya.
Fenomena ini merupakan bentuk protes yang muncul dari kekecewaan terhadap elite politik yang dianggap telah menjegal Anies. “Elektabilitas Anies sangat tinggi ini merupakan aspirasi dari publik, tapi elite partai memilih mengabaikan aspirasi itu,” ungkapnya.
Banyak pendukung Anies yang berasal dari berbagai simpatisan partai politik juga merasakan kekecewaan yang sama. Mereka melakukan tindakan ini secara sadar, tanpa tekanan atau iming-iming. “Ini gerakan organik, tidak dimobilisir. Murni dari kesadaran publik yang merasakan kekecewaan yang sama,” jelasnya.
Aktivis 1980-an ini mengungkapkan, bahwa tindakan coblos semua calon ini sah-sah saja. “Ini dari lubuk nurani masing-masing pribadi, orang melakukannya atas pilihan sadar. Bukan karena tekanan atau intimidasi. Ini adalah wujud perjuangan mereka.”
Fenomena ini menjadi pengalaman politik yang luar biasa di Jakarta, satu-satunya daerah di Indonesia yang mengalami gerakan protes demokrasi seperti ini. Jika surat suara yang menang mayoritas mencoblos semua pasangan calon, legitimasi gubernur dan wakil gubernur terpilih bisa dipertanyakan. (EJP)