Daily News | Jakarta – Anies Baswedan ingin membangun gerakan politik baru melalui pendirian organisasi masyarakat (ormas) atau pembentukan partai politik baru. Namun, mendirikan partai politik di Indonesia bukan perkara mudah. Selain membutuhkan dukungan massa, proses ini menuntut kekuatan finansial yang sangat besar.
Menurut pengamat politik Dr. Martadani Noor, MA, pendirian partai politik di Indonesia biasanya dimotori oleh elite, yang kemudian dilegitimasi seolah-olah merupakan kehendak masyarakat. “Mayoritas kehendak elite dilegitimasi menjadi kehendak masyarakat,” jelasnya saat ditemui KBA News, Senin, 7 Oktober 2024.
Fenomena ini menunjukkan bahwa pendirian partai di Indonesia sangat elitis, bukan berdasarkan ideologi atau kekuatan komunitas. “Awalnya ada perpecahan, kemudian ada perhitungan rasionalitas ekonomi, barulah mendirikan partai. Biayanya tentu sangat tinggi,” tambah Dr. Martadani.
Bagaimana dengan rencana Anies membentuk partai politik? Apakah partai tersebut akan memiliki kekuatan komunalitas yang cukup kuat?
Dekan Fisipol Universitas Widya Mataram Yogyakarta ini mengungkapkan, di Indonesia, partai politik yang kuat seharusnya didasarkan pada komunalitas atau kesamaan cara pandang, nilai, dan orientasi politik. Semakin besar kekuatan komunalitas suatu kelompok, semakin sedikit kebutuhan logistik atau biaya untuk mendirikan partai.
“Komunalitas adalah modal sosial. Semakin besar kekuatan komunalitas, semakin minim biaya logistik yang dibutuhkan untuk pendrian partai. Simpul-simpul relawan Anies yang tersebar di seluruh Indonesia itu merupakan komunalitas, modal sosial,” jelas Martadani.
Lulusan S2 di India ini mengatakan, pasca reformasi, hampir tidak ada partai di Indonesia yang murni berbasis komunalitas. Sebagian besar partai yang ada saat ini dibentuk oleh elit, kemudian baru membentuk atau melegitimasi komunalitas.
Dr. Martadani menyebut contoh PKB yang berbasis Nahdlatul Ulama (NU) dan PAN yang berbasis Muhammadiyah. Meski demikian, kedua partai ini awalnya didirikan oleh tokoh-tokoh elite sebelum komunalitas dibentuk.
Jika sebuah partai gagal menjaga keterkaitan simbol, orientasi, dan program yang relevan dengan komunalitas tersebut, dukungan masyarakat bisa dengan mudah lepas.
Lulusan S2 UNS Surakarta ini menyatakan, dalam konteks ini, jika Anies Baswedan benar-benar membentuk partai, tantangannya bukan hanya pada aspek regulasi dan biaya, tetapi juga pada bagaimana merawat komunalitas yang kuat.
Simpul-simpul relawan yang telah terbentuk secara organik selama ini mungkin bisa menjadi awal dari kekuatan komunalitas tersebut. Namun, seberapa kuat simpul tersebut dalam jangka panjang masih menjadi pertanyaan besar. (EJP)