Daily News | Jakarta – Anies Baswedan, saat menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta, banyak menerbitkan kebijakan penting yang pro-rakyat. Salah satunya adalah membebaskan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk hunian dengan nilai di bawah Rp2 miliar. Anies membebaskan pajak ini karena rumah atau hunian merupakan hak dasar manusia.
Konsultan hukum Surahman Suryatmaja menyatakan bahwa kebijakan Anies yang membebaskan pajak PBB di bawah Rp2 miliar adalah langkah luar biasa. “Itu kebijakan yang sangat menyentuh kalangan masyarakat yang memang membutuhkan,” katanya saat dihubungi KBA News, Rabu, 1 Januari 2025.
Surahman membandingkan kebijakan tersebut dengan program subsidi pemerintah yang disebut-sebut bertujuan membantu masyarakat, tetapi sering kali tidak menyentuh hajat hidup orang banyak. “Artinya, masih ada kebocoran yang dinikmati golongan tertentu yang sebenarnya tidak layak untuk mendapatkan,” ujarnya.
Sebagai contoh, ia menyebut subsidi BBM, seperti pertalite. “Kita tidak memungkiri kebocoran yang dimanfaatkan oleh masyarakat yang tidak layak mendapatkan subsidi itu, tetapi pemerintah membiarkan. Bahkan, sudah ada yang tertangkap tangan terkait kebocorannya,” jelasnya.
Menurut dia, banyak orang yang masih bisa membeli pertalite atau solar, padahal kendaraan mereka sebenarnya tidak layak mendapatkan subsidi. “Itu masih terjadi, dan perlakuan yang diberikan justru berupa solusi setengah hati. Fenomena di lapangan menunjukkan bahwa pedagang-pedagang pertalite tetap bisa membeli tanpa pengawasan yang memadai,” paparnya.
Advokat asal Purbalingga ini mengungkapkan bahwa jika pada Pilpres 2024 Anies Baswedan terpilih menjadi presiden, akan ada banyak kebijakan yang langsung menyentuh hajat hidup orang banyak. Menurutnya, kebijakan pro-rakyat harus diperbanyak dan dimasifkan karena sering kali kebijakan yang ada terhambat oleh konflik kepentingan.
“Kalau tujuannya murni memberikan subsidi kepada masyarakat, tentu tidak akan sesulit yang terjadi pada Pak Anies, seperti bebas pajak untuk PBB di bawah Rp2 miliar,” imbuhnya.
Namun, Surahman menyoroti bahwa konflik kepentingan sering kali menghalangi pengambil kebijakan, termasuk adanya tekanan dari oligarki yang menginginkan agar kepentingan mereka terakomodasi. “Itulah mengapa kebijakan yang menyentuh masyarakat luas sering kali dikebiri oleh kepentingan oligarki. Akibatnya, kebijakan tersebut nampak tidak berpihak kepada rakyat kecil,” ujarnya.
Ia juga menyebut bahwa kebijakan yang terhalang konflik kepentingan ini banyak terjadi di era Jokowi. Bahkan, lembaga nonpemerintah Organized Crime and Corruption Reporting Project (OCCRP) mencantumkan Jokowi dalam nominasi pemimpin dunia terkorup. “Penghargaan itu menghancurleburkan semua hasil kerjanya selama 10 tahun berkuasa,” kata Surahman. (DJP)
Discussion about this post