Daily News | Jakarta – Pasca Reformasi 1998, politik uang di Indonesia semakin mengakar di berbagai lapisan. Era Megawati dan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) memang tidak sepenuhnya bebas dari fenomena ini, namun masih jauh dari tingkat keparahan yang kita lihat saat ini. Jutaan rakyat menginginkan perubahan, tetapi bagaimana perubahan tersebut bisa diwujudkan dalam iklim politik yang didominasi oleh kekuasaan uang?
Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta, Prof. Dr. Muhammad Chirzin, M.Ag, menyoroti bahwa Pilkada, pemilu, dan pilpres, semuanya terjebak dalam lingkaran politik uang. Ia menegaskan bahwa para calon legislatif, kepala daerah, bahkan pemimpin lembaga publik, harus mengandalkan uang untuk menang. “Bukan sekadar bersaing secara sehat dan demokratis, tetapi berkompetisi menggunakan kekuasaan finansial,” katanya saat dihubungi KBA News, Minggu, 13 Oktober 2024.
Menurut Prof. Chirzin, untuk menjadi calon anggota legislatif, seseorang harus menyiapkan modal setidaknya satu miliar rupiah sebagai mahar untuk partai politik pengusung, kampanye, dan biaya lainnya. Hal ini terlihat dari lebih dari 60% anggota DPR RI yang berlatar belakang profesi bisnis, yang menunjukkan bahwa finansial adalah kunci utama memenangkan kursi dewan.
Prof. Chirzin mengungkapkan, uang menjadi segalanya dalam proses politik. Politikus tidak sungkan meminjam uang besar untuk mengembalikan modal selama mengikuti kontestasi politik.
Fenomena anggota dewan yang langsung menyekolahkan Surat Keputusan (SK) mereka ke bank setelah dilantik menjadi pemandangan umum. Bank-bank pun proaktif menawarkan pinjaman kepada mereka, sering kali di lokasi pelantikan. “Pertanyaannya, akankah modal awal yang mereka keluarkan dan utang yang diambil dapat tertutup dalam satu periode jabatan?” ujarnya bernada tanya.
Menurut dia, dalam kondisi ini, pemerintahan Prabowo Subianto sebagai presiden terpilih harus mengembalikan substansi demokrasi ke jalan yang benar. Prabowo harus memimpin “reformasi jilid dua” dengan kembali ke UUD 1945 asli, yang disahkan pada 18 Agustus 1945 dengan penambahan addendum.
Prof. Chirzin mengungkapkan, banyak pengamat menyebutkan bahwa amandemen UUD 1945 yang menghasilkan UUD 2002 telah menggeser kekuasaan MPR sebagai lembaga tertinggi negara, sehingga presiden memegang kontrol lebih besar atas legislatif dan yudikatif.
“Hal ini menciptakan ketidakseimbangan kekuasaan yang memicu istilah ‘trias corruptia,’ menggambarkan ketiga lembaga negara sebagai pusat korupsi,” jelasnya.
Dia mengatakan, pemilihan kepala daerah, termasuk pemilihan presiden secara langsung dengan sistem “satu kepala, satu suara,” juga dinilai tidak sesuai dengan sila keempat Pancasila, yang mengedepankan permusyawaratan. “Banyak pengamat menyebut, sistem ini terbukti sangat mahal dan kerap memecah belah rakyat,” ungkapnya. (AM)