Daily News | Jakarta – Pemerintah diminta membenahi pola komunikasi publik yang selama ini dinilai tidak efektif, bahkan cenderung memicu kontroversi. Komunikasi politik yang seharusnya mampu meredam kegaduhan justru kerap menambah ketegangan di tengah masyarakat.
Dosen Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada, Dr. Nyarwi Ahmad, menilai pendekatan komunikasi politik yang dilakukan Kantor Staf Komunikasi Kepresidenan terlalu defensif dan argumentatif. Menurutnya, pola ini berpotensi menurunkan tingkat kepercayaan publik terhadap pemerintahan.
Ia secara khusus menyoroti respons Kepala Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi terkait kasus pengiriman kepala babi dan bangkai tikus ke kantor redaksi Tempo. Menurut Nyarwi, gaya komunikasi tersebut lebih menyerupai pendekatan kampanye ketimbang diplomasi publik yang seharusnya menjadi ciri khas komunikasi pemerintahan.
“Kalau komunikasi pemerintah terus-menerus bersifat defensif, bahkan menyalahkan dan mengecilkan pihak lain, itu bisa memunculkan sentimen negatif terhadap pemerintahan Prabowo. Ini bisa menjadi bumerang bagi dukungan publik,” katanya kepada wartawan, Rabu, 9 April 2025.
Nyarwi menyarankan agar strategi komunikasi pemerintah lebih responsif, tematik, dan empatik. Ia menekankan pentingnya merancang komunikasi yang tidak sekadar menyampaikan pesan, tetapi juga mempertimbangkan dampaknya terhadap persepsi publik.
“Pemerintah perlu menghindari komunikasi yang berpotensi menimbulkan kontroversi, dan lebih fokus pada diplomasi publik yang mengakar,” ujarnya.
Lebih jauh, Nyarwi mengingatkan agar pemerintah menepati janji menjaga kebebasan pers, sebagaimana yang pernah disampaikan Presiden Prabowo saat masih menjadi calon presiden. Kala itu, Prabowo berkomitmen menjaga pers sebagai mitra kritis dan pilar keempat demokrasi.
“Komunikasi politik pemerintahan saat ini seharusnya selaras dengan prinsip yang pernah disampaikan oleh Prabowo, bukan justru menciptakan kesan yang bertolak belakang,” tandasnya.
Praktisi komunikasi, Mariana Ulfah, mengaku prihatin dengan pernyataan tersebut. “Sebagai pejabat pemerintah, seseorang harus memiliki kemampuan komunikasi yang dapat merangkul masyarakat dari berbagai latar belakang,” katanya saat dihubungi KBA News, Rabu, 9 April 2025.
Perempuan yang pernah mengajar ilmu komunikasi di Universitas Ahmad Dahlan (UAD) Yogyakarta ini menilai bahwa pernyataan blunder dari pejabat sekelas menteri di kabinet Prabowo-Gibran bukanlah kejadian pertama.
Sebelum Hasan Nasbi, beberapa pejabat lain juga pernah membuat pernyataan kontroversial. Wakil Menteri Tenaga Kerja, Immanuel Ebenezer Gerungan, misalnya, menanggapi tagar #KaburAjaDulu dengan menyatakan, “Kabur saja, kalau perlu tidak usah kembali.”
Sementara itu, Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan, Miftah Maulana Habiburrahman atau lebih dikenal sebagai Gus Miftah, pernah melontarkan ucapan yang dinilai kasar dan merendahkan penjual es teh keliling di sela pengajiannya.
Menurut Maria, pernyataan semacam ini sangat tidak pantas diucapkan oleh pejabat negara. Jika ada kritik atau keluhan dari masyarakat, seharusnya pemerintah memberikan respons yang bijak dan profesional. “Tidak perlu memberikan komentar yang justru terdengar seperti buzzer di media sosial. Pejabat yang tidak mampu berkomunikasi dengan baik lebih baik diam saja, daripada memperkeruh suasana,” tegasnya (AM)
Discussion about this post