Daily News | Jakarta – Rektor Universitas Paramadina, Prof Didik J Rachbini, MSc Ph.D, mengatakan memang pada saat ini pemerintahan Presiden Prabowo Subianto mempunya masalah ketika melakukan komunikasi dengan publik. Sehingga dapat dimengerti bila ada hasil survei yang menyatakan kepercayaan publik kepada pemerintah saat ini perlahan mulai menurun atau bahkan menghilang.
”Hal ini jelas perlu disadari dan dicari solusinya oleh para juru bicara Istana. Mengapa terjadi hal yang demikian? Apalagi bila dibandingkan, kondisi ini berbeda misalnya dengan masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY). Kala itu pemerintahannya relatif bisa secara lugas menjelaskan semua masalah kepada publik,” kata Didik pada acara diskusi bertajuk ‘Kepercayaan Publik Yang Hilang’ di Universitas Paramadina Jakarta, Selasa petang 11 Februari 2022.
Didik mengatakan, di masa depan komunikasi pemerintahan Prabowo mau tidak mau harus memperbaiki diri dengan serius. Jangan lagi mengulang apa yang dilakukan pemerintahan Presiden Jokowi di mana malah bisa dikatakan melakukan komunikasi dengan buruk. Hal ini misalnya dengan cara mengerahkan buzzer, relawan, atau pihak yang tak jelas. ”Bahkan dalam banyak temuan penelitian, mereka saat itu turut dibiayai memakai uang pemerintah.”
”Contoh hasil komunikasi yang buruk di masa pemerintahan Jokowi adalah ketika mengesankan lembaga KPK sebagai sarang Taliban. Maka kredibilitas lembaga ini pun hancur. Relawan dan buzzer dikerahkan. Padahal seharusnya relawan sudah berhenti ketika Jokowi menjabat. Buser tak perlu ada karena ada juru bicara resmi. Komunikasi kemudian dilakukan melalui pejabat resmi pemerintahan atau juru bicara presiden,” tegasnya.
Menurut Didi, karena tidak ada kepastian sumber otoritas berita maka kepercayaan publik pun terpecah kepada pemerintah. Bahkan situasi ini semakin rumit dengan munculnya komunikasi bawah tanah yang dengan leluasanya para buzzer pendukung Jokowi melakukan operasi secara luas di media sosial. ”Nah, kami harap situasi komunikasi seperti ini jangan diulang oleh pemerintahan Prabowo.”
Sementara mantan juru bicara Presiden SBY, Andi Malarangeng mengatakan bila ada pihak yang menganggap komunikasi pemerintah kala itu cukup baik, hal itu karena presiden secara penuh memberikan kepercayaan kepada para jubir presiden. Dan selain mendapat ‘trust’ dari presiden, para jubir presiden yang saat itu berjumlah dua orang, mereka melekat langsung kepada presiden selama 24 jam.
”Saat itu kami menjadi jubir Presiden SBY bersama Dino Pati Djalal. Selain dibagi secara shift pagi dan malam, kami juga tanggung jawabannya dibagi. Saya tentang masalah dalam negeri, Pak Dino masalah internasional. Setiap kali muncul persoalan kami bisa lsetiap saat bertemu serta menanyakan langsung ke presiden. Inilah yang kemudian membuat komunikasi pemerintah ke publik bisa lancar,” kata Andi Malarangeng.
Sebagai jubir presiden, lanjut Andi, pada prinsipnya komunikasi yang dilakukannya merupakan benteng terakhir presiden untuk menjelaskan sebuah masalah kepada publik. Ini untuk menjaga agar kepercayaan publik kepada pemerintah selalu utuh. ”Jadi kalau jubir salah maka presiden masih bisa mengoreksinya. Sebab, sangat berbahaya bila presiden bicara langsung namun kemudian salah. Pasti akan sulit mengoreksinya. Tugas jubir itulah yang harus mencegahnya.”
Jurnalis senior, Uni Lubis, mengatakan memang harus diakui komunikasi publik pemerintahan Presiden Prabowo bermasalah. Hal ini terjadi juga karena kebijakan yang dikeluarkannya seperti bermain ‘yoyo’, yakni tarik ulur melihat reaksi publik.
”Saat ini sepertinya terjadi kesenjangan alur komunikasi. Jubir presiden sepertinya tidak punya akses dan kepercayaan penuh dari Presiden. Akibatnya, dalam beberapa masalah seperti persoalan distribusi tabung gas 3 Kg, pernyataan jubir presiden salah dan malah bertabrakan dan dikoreksi wakil ketua DPR yang merupakan petinggi partai Gerindra. Jadi pelajarannya, adanya ‘trust; (kepercayaan) itu penting dalam komunikasi presiden atau pemerintah. Dan patut diingat pula semakin banyak proksi ketika menyampaikan komunikasi, maka akan semakin bermasalah. Bila ingin berhasil perlakukan ajang komunikasi sebagai mutual respek,” tandas Uni Lubis. (DJP)
Discussion about this post