Daily News | Jakarta – Pernyataan Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejaksaan Agung (Kejagung), Harli Siregar, yang menyebutkan bahwa satu anggota kejaksaan atau adhyaksa yang diperlakukan tidak adil sama artinya dengan menghadapi institusi Kejagung, menuai kontroversi. Pernyataan tersebut dinilai menyerupai praktik di era Orde Baru.
“Bagi kami, satu orang insan adhyaksa yang diperlakukan tidak adil itu sama dengan (berhadapan dengan) seluruh institusi,” ujar Harli saat dimintai tanggapan soal pelaporan Jampidsus Febrie Adriansyah ke KPK.
Menanggapi hal itu, pengamat politik Ray Rangkuti menyatakan bahwa pernyataan tersebut mirip dengan pola di era Orde Baru, di mana serangan terhadap individu dianggap sebagai serangan terhadap institusi, terutama bagi mereka yang berada di lembaga negara atau kementerian.
Menurut dia, kondisi ini semakin membuat nasib malang bagi rakyat Indonesia. Jika ada yang menyerang satu warga negara, itu tidak bisa diklaim sebagai serangan terhadap rakyat Indonesia.
“Berbeda dengan serangan terhadap satu jaksa, yang justru dianggap sebagai serangan terhadap institusi kejaksaan,” katanya dalam diskusi publik bertajuk “Tom Lembong, Keadilan, dan Imunitas Jaksa” yang digelar Forum Kajian Demokrasi Kita (FOKAD) secara daring melalui Zoom, pada Jumat, 14 Maret 2025.
Direktur Lingkar Madani Indonesia (LIMA) ini menjelaskan bahwa jika ada serangan terhadap satu oknum polisi, itu dianggap serangan terhadap institusi Polri. Hal serupa juga berlaku bagi hakim, DPR, hingga presiden.
“Jika presiden dikritik dengan sangat keras, sering kali digunakan pasal-pasal penghinaan terhadap negara atau kepresidenan,” katanya.
Kondisi ini, menurutnya, menguntungkan pejabat yang dapat berlindung di balik institusinya, sementara rakyat tidak memiliki perlindungan serupa.
“Misalnya, jika saya mengalami penganiayaan, saya tidak bisa dianggap mewakili rakyat Indonesia,” imbuhnya.
Ray mengungkapkan bahwa kondisi ini terjadi karena masih ada anggapan bahwa para pejabat adalah wakil Tuhan di bumi.
“Jadi, meskipun kita memiliki sistem demokrasi, kultur kita masih seperti kerajaan. Pejabat dipuja-puja, sementara rakyat selalu dipinggirkan. Hak pejabat diutamakan, sedangkan rakyat diabaikan,” jelasnya.
Menurutnya, kultur yang memuliakan pejabat tetap bertahan, bahkan ketika mereka bermasalah.
“Ini persoalan serius. Selama ini terbentuk kultur penghormatan kepada pejabat, meskipun mereka memiliki banyak kekurangan,” ungkapnya.
Saat ini, ia menilai penghormatan itu mulai luntur seiring meningkatnya tingkat pendidikan warga dan semakin rasionalnya hubungan antara masyarakat dan negara. Namun, mentalitas pejabat masih seperti di era Orde Barumereka ingin dihormati, sementara rakyat yang harus menghormati dan melayani pejabat.
“Karena masyarakat semakin rasional, pejabat negara pun membuat aturan agar tetap dihormati. Misalnya, DPR disebut ‘Yang Terhormat’itu ada dalam tata tertibnya. Padahal, secara objektif, mereka tidak selalu dipandang sebagai orang yang terhormat. Begitu juga hakim yang dipanggil dengan sebutan ‘Yang Mulia’,” ungkapnya.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Latifina ini, selain Ray Rangkuti, turut hadir narasumber lain, yaitu Zaid Mushafi, S.H., M.H. (Kuasa Hukum Tom Lembong), Syahril Syafiq Corebima (Ketua BEM Fakultas Hukum Universitas Bung Karno), Virdian Aurelio (Ketua BEM Universitas Padjadjaran 2022), dan Prof. M. Ali Safa’at (Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Brawijaya).
Diskusi ini berfokus pada peran jaksa dalam sistem peradilan, termasuk aspek imunitas yang mereka miliki dalam menjalankan tugasnya. Selain itu, kasus Tom Lembong juga menjadi sorotan dalam acara ini, khususnya dalam konteks keadilan dan perlindungan hukum. Diskusi ini menjadi wadah penting bagi mahasiswa, akademisi, dan praktisi hukum untuk memahami lebih dalam isu hukum yang sedang berkembang di Indonesia. (AM)
Discussion about this post