Daily News | Jakarta – Semenjak zaman kerajaan dan kesultanan, militer di Indonesia sudah terbiasa masuk dalam pemerintahan untuk dipakai sebagai sarana mempertahankan kekuasaan.
Begitulah, aktivis gerakan pro demokrasi sekaligus Direktur Institut Soekarno-Hatta, M Hatta Taliwang, mengatakan latar belakang militer Indonesia masuk atau berperan dalam kekuasaan negara itu tidak serta merta. Namun bila dilacak itu telah berlangsung dalam kurun waltu yang sangat panjang. Bahkan, sudah terjadi ketika Indonesia masih terbagi dalam banyak kerajaan/ kesultanan.
“Kalau dilihat dari sejarahnya, latar belakang militer atau tentara berada dalam kekuasaan di Indonesia sudah semenjak zaman dahulu kala. Ini misalnya ?di masa kerajaan/ kesultanan dulu sering terjadi pemberontakan terutama terkait suksesi kekuasaan. Sehingga untuk menjamin keamanan kekuasaan maka para raja atau sultan menggunakan kekuatan fisik yang berbau militer seperti jawara, laskar jagoan dan semacamnya. Jadi penggunaan kekuatan militer atau tentara itu dipakai sebagai sarana bertahan atau merebut kekuasaan,” kata M Hatta Taliwang, kepada KBA News, Jumat 21 Maret 2025.
Selanjutnya, peran militer masuk ke dalam kekuasaan itu terjadi pada periode awal kemerdekaan, yakni di tahun 1948 sampai 1950 sebagai akibat agresi militer Belanda.
”Ketika terjadi aksi militer Belanda, yakni ketika para pemimpin sipil ditawan, maka tentara mengumumkan berlakunya Pemerintahan Militer di Jawa. Tujuannya menghindari kevakuman kekuasaan, dan agar militer dapat melakukan perang gerilya demi mempertahankan kedaulatan RI yang baru saja merdeka,” ujarnya.
Setelah itu, sejarah masuknya militer ke dalam pemerintahan negara pertama kali dilakukan pada masa kekuasaan Soekarno, ya ketika dia mengangkat Komodor L M Nazir sebagai Menteri Perhubungan Laut/Pelayaran pada 9 April 1957. Saat itu belum doktrin ‘jalan tengah’ seperti ide dari KSAD Nasution, apalagi dilakukannya ‘dwifungsi ABRI’ ala Soeharto, belum ada,
“Pidato Jalan Tengah ABRI oleh Jenderal Abdul Haris Nasution disampaikan baru pada tahun 1958. Pidato ini disampaikan di hadapan taruna Akademi Militer Nasional di Magelang,” ungkapnya.
Akibatnya, apabila kemudian merunut pada p?idato ‘jalan tengah’ mengenai bisa berperannya anggota tentara dalan kekuasaan yang digagas AH Nasution itu juga sebenarnya sudah diimplementasikan Sukarno pula.
”Soal konsep ‘jalan tengah’ tersebut sudah dikatakan banyak pemikir militer seperti Prof Salim Said. Menurut dia maksudnya adalah untuk mendayagunakan kemampuan oknum-oknum tentara yang sesuai keahliannya. Ini dilakukan sesuai yang sudah dilakukan Soekarno yang mengangkat dua orang menteri dari tentara,” ungkap Hatta.
Adanya kenyataan sejarah seperti itu, maka peranan penting yang diambil militer pada masa revolusi kemerdekaan itu mampu tertanam kuat dalam tubuh TNI. Mereka gunakan fakta sejarah itu sebagai salah satu legitimasi atas tuntutan partisipasi politik tentara dalam proses pengelolaan negara.
”Fakta sejarahnya memang ada masa jaya militer di dalam kekuasaan atau pemerintahan. Ini sudah terjadi di era Soeharto dan kemudian menjadi masa prihatin bagi TNI diera reformasi,” tegasnya.
Sedangkan untuk melihat kenyataan akan kembalinya beberapa pos kekuasaan sipil yang bisa dijabat oleh anggota tentara aktif, Hatta mengatakan harus disikapi dengan bijak serta memakai kepala terang yang penuh nalar.
“Dimasa sulit negara seperti sekarang ini jelas dibutuhkan bersatunya semua potensi dan enerji bangsa dalam menjaga kedaulatan RI tanpa membesarkan dikotomi sipil militer, Apalagi kalau militer mendapat penugasan yang masih dalam irisan kemampuan profesionalnya,” tandas Hatta Taliwang menegaskan. (DJP)
Discussion about this post