Daily News | Jakarta – Dominasi kekuasaan uang dalam setiap kontestasi politik di Indonesia semakin menguat. Praktik money politic yang merusak demokrasi kini terjadi secara terang-terangan. Di tengah kondisi ini, kepemimpinan profetik muncul sebagai solusi yang perlu dipertimbangkan untuk menyelamatkan bangsa dan mewujudkan masyarakat madani yang ideal.
Pengamat politik Assoc. Prof. Dr. Khamim Zarkasih Putro, M.Si, menjelaskan bahwa kepemimpinan profetik erat kaitannya dengan konsep masyarakat madani, yang sering dikaitkan dengan civil society. Ia menyebutkan bahwa masyarakat madani di Indonesia banyak diambil dari konsep masyarakat Madinah yang berlandaskan Piagam Madinah.
Menurut Khamim, terdapat perbedaan mendasar antara kepemimpinan profetik di masa Rasulullah dengan masyarakat madani saat ini. “Pada masa Rasulullah, ketika terjadi persoalan, rujukannya adalah Allah dan Rasul-Nya. Namun, masyarakat madani modern sering mengandalkan kesepakatan bersama atau common sense,” ujarnya dalam wawancara dengan KBA News, Kamis, 17 Oktober 2024.
Pertanyaan yang perlu diajukan, menurutnya, adalah: apakah persoalan-persoalan masyarakat saat ini bisa kembali diselesaikan dengan merujuk pada kitab suci? “Inilah yang didefinisikan sebagai kepemimpinan profetik,” jelas Khamim.
Kepemimpinan profetik, lanjutnya, berupaya menganalisis berbagai persoalan di masyarakat, termasuk persoalan politik, berdasarkan nilai-nilai ilahiah. Dalam konteks masyarakat kapitalis, seringkali kebenaran dianggap tanpa campur tangan Wahyu.
“Inilah yang menjadi perdebatan pemikiran di Indonesia. Ada yang ingin menarik perpolitikan nasional ke arah yang provan, menjauhkan dari nilai-nilai ilahiah,” paparnya.
Khamim menegaskan bahwa, dalam konteks Pancasila, sila pertama—Ketuhanan Yang Maha Esa— yang menjadi inspirasi bagi sila-sila berikutnya. Ini adalah tanggung jawab logis dari penyelenggara negara untuk memastikan bahwa kebijakan dan regulasi yang dibuat tidak bertentangan dengan nilai-nilai ilahiah, apapun agamanya.
Sebagai contoh, ia menyoroti maraknya penjualan minuman keras di Yogyakarta. Meskipun secara konstitusional dianggap sah, fenomena tersebut jelas bertentangan dengan nilai-nilai agama, rasionalitas, dan norma kemasyarakatan.
Dalam konteks ini, Khamim menekankan pentingnya kehadiran kepemimpinan profetik. Ia berpendapat bahwa agama harus tetap memiliki keterwakilan dalam kebijakan publik. “Masing-masing agama memiliki institusi yang dianggap mewakili, misalnya Muslim dengan MUI dan Nasrani dengan Wali Gereja, dan lainnyapolitik. Mereka adalah representasi umat di Indonesia,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Khamim menjelaskan bahwa ketika ada aturan atau regulasi baru yang menimbulkan perdebatan di masyarakat, fatwa dari lembaga-lembaga agama tersebut bisa menjadi pertimbangan penting. “Inilah yang disebut sebagai kepemimpinan profetik,” tuturnya. (EJP)