Daily News | Jakarta – Dalam prinsip demokrasi, penggunaan hak pemilih harus dihormati sambil membangun budaya politik baru berdasarkan demokrasi berkeadilan.
Dalam setiap gerakan dan perjuangan untuk mewujudkan cita-cita politik ada saja yang berpikir dan bersikap cenderung oportunis. Ini yang terlihat dari fenomena Anak Abah, yaitu para pendukung Anies Baswedan, yang mengalihkan dukungan kepada Calon Gubernur lain di Pilkada Jakarta setelah Anies gagal mendapat dukungan partai.
Analis politik dari Eksponen UI Agus Wahid menyatakan hal itu kepada KBA News, Kamis, 26 September 2024 menanggapi beberapa pimpinan relawan yang berubah sikap. Tidak lagi konsisten mendukung sikap dan pendirian Anies tetapi sudah mengalihkan dukungan kepada calon lain.
Anies sendiri sudah menyebarlan video yang ditujukan kepada para pendukungnya agar menunggu arahannya. Dia menambahkan, pada saatnya nanti dia akan mengeluarkan keputusan akan mendukung siapa. Tetapi banyak relawan yang tidak sabar menunggu dan mengambil keputusan sendiri.
Menurut alumni Sastra Arab UI dan master Hubungan Internasional FISIP UI itu, tidak bisa dipungkiri, jumlah Anak Abah tidaklah kecil. Bisa jadi, sangat dominan dan menjadi penentu kemenangan dalam pilkada Jakarta. Karena itu, bisa dimaklumi ketika seluruh kandidat Paslon memperebutkannya. Tentu, dengan segala daya, termasuk kemungkinan iming-iming tertentu, minimal gelontoran dana taktis operasional yang tidak kecil nilainya.
Lalu, bagaimana sikap Anak Abah? “Sebagian memang konsisten. Mereka committed dengan garis perjuangan Abah. Karena abah tidak ikut kontestasi, maka pilihannya hanya satu opsi: tidak mendukung ketiga kontestan yang ada. Opsi ini bisa dengan cara mencoblos semua, tak hadir di TPS. Bahkan, jika memang MK mengabulkan judicial review tentang adanya kotak kosong, maka di antara anak abah ini akan coblos kotak kosong itu,” kata Agus yang saat ini bekerja sebagai staf Ahli di MPR RI itu.
Banyak konsistensi
Pertanyaannya, apakah semua anak abah seperti itu? Jawabnya: Tidak. “Saat ini sedang bergemuruh di antara Anak Abah akan ikut mencoblos salah satu di antara kontestan itu. Sekali lagi, warna ini dapat dipastikan bukanlah tergolong yang ideolog. Karena itu, warna Anak Abah ini sangat cair sikap politiknya. Bisa dikatakan pragmatis. Bahkan, lebih dahsyat dari itu: oportunis,” kata mantan staf Corporate Bank Mandiri bidang Komunikasi Publik itu.
Ditambahnya, sikap politiknya yang mudah cair inilah – dalam kacamata Anak Abah yang ideolog – dinilai membelot. Hak mereka untuk menggunakan hak politiknya dan berpihak pada satu satu kontestan. Dalam prinsip demokrasi, penggunaan haknya harus dihormati. Tak boleh disalahkan.
Namun, tukasnya, realitas itu dapat kita baca sebagai inkonsistensi perjuangan pro Perubahan. Landasannya, tak ada satupun di antara ketiga kontestan itu yang seiya sekata untuk memperjuangkan perubahan subtansial sebagaimana yang diperlihatkan Abah secara heroik. Tidak bisa dipungkiri, seluruh kontestan itu ada di bawah ketiak kaum oligarki, minimal kemauan istana.
“Kiranya ada hikmah besar di balik pembelotan sebagian Anak Abah itu. Yaitu, kesadaran politik anak bangsa ini lemah. Mudah goyang hanya karena fulus. Dan itu merambah, tidak hanya kalangan grass-root, tapi juga elitis. Harus kita catat, gerakan pembelotan itu pasti ada sang ‘komandan’ yang berpengaruh di antara kaum grass-root itu. Sosok komanda oportunis dan pragmatis inilah yang dimainkan para Tim kandidat,” kata mantan Staf Ahli Menteri Pangan dan Hortikultura pada masa awal reformasi itu.
Pelajaran yang dapat diambil dalam fenomena pembelotan sebagian Anak Abah adalah Itulah warna politik di Tanah Air. Perlu pembelajaran beberapa dekade hingga anak bangsa ini sadar arti perjuangan pro perubahan substansial. “Tampak Seperti fatamorgana dan ilusi memang. Tapi, itulah proporsi sebuah cita-cita besar,” demikian Agus Wahid. (EJP)
Discussion about this post