Daily News | Jakarta – Ada anggapan bahwa untuk meminimalisasi politik uang, muncul wacana kembali ke UUD 1945 yang asli, bukan UUD 1945 yang telah diamandemen. Di dalamnya termuat bahwa pemilihan dilakukan melalui perwakilan di parlemen, bukan secara langsung seperti yang diterapkan sejak Pemilu 2004 hingga sekarang.
Ketua Partai Ummat DIY, Dwi Kuswantoro, mengaku tidak setuju jika pemilihan dilakukan melalui wakil rakyat, baik di tingkat kabupaten/kota, gubernur, hingga presiden.
“Kembali ke UUD 1945, coba dicek lagi, revisinya di titik mana. Persoalannya bukan soal pemilihannya. Mengapa bernostalgia dengan masa lalu?” ujarnya dengan nada tanya saat dihubungi KBA News, Jumat, 18 Oktober 2024.
Dia mengakui, pemilihan langsung pasca-Reformasi, sejak 2004 hingga 2024, memiliki persoalan. “Memang ada persoalan, ya, kita akui. Sistem pemilihan ini memang ada kanibalisme yang luar biasa. Maka dari itu, sistemnya perlu dievaluasi, bukan kembali ke aturan lama (UUD 1945 sebelum amandemen),” ungkapnya.
Dwi mengingatkan, jika kembali ke UUD 1945 yang asli, risikonya adalah tidak ada pembatasan periode presiden dan wakil presiden. Kepala negara bisa menjabat lebih dari dua periode. “Itu jelas kacau,” tegasnya.
Menurutnya, salah satu alasan dilakukannya amandemen UUD adalah untuk membatasi masa jabatan presiden, yang sebelumnya tidak pernah dibatasi. “Soekarno dan Soeharto bisa memimpin dalam jangka waktu lama. Di awal mungkin bagus, tetapi lama-lama menjadi tidak bagus. Ibaratnya, kekuasaan cenderung korup, maka ada amandemen dengan pembatasan maksimal dua periode,” jelasnya.
Dia mengungkapkan, pembatasan masa jabatan sebenarnya membuka ruang untuk perbaikan. “Misalnya, Jokowi hanya 10 tahun. Setuju atau tidak setuju, tetap dibatasi dua periode. Coba kalau tidak dibatasi,” kata Dwi.
“Apakah kita mau dipimpin seperti zaman Soeharto selama lebih dari 30 tahun?” imbuhnya.
Menurut Dwi, persoalan mendasar adalah bagaimana membaca persoalan dari substansinya. Misalnya, apa yang menyebabkan bangsa ini mengalami kemunduran demokrasi. “Bagi saya, bukan soal aturan, tapi praktiknya. Nah, praktik pemilihan langsung inilah yang perlu diperbaiki, bukan lalu kembali ke pemilihan melalui perwakilan,” tegasnya.
Dwi mengungkapkan, salah satu perbaikan praktik pemilu langsung misalnya, adalah Bawaslu dan KPU harus menjadi lembaga yang punya marwah. “Kalau (Ketua) KPU saja tidak bermoral (berdasarkan putusan DKPP), bagaimana kita bisa menjaga proses politik yang berintegritas?” katanya dengan nada tanya.
“Jadi, pemilihan langsung sebenarnya tidak masalah, yang perlu diperbaiki adalah sistem dan praktiknya,” kata Dwi.
Partai Ummat pernah mengusulkan pemilihan langsung dengan sistem e-voting. Sistem ini dianggap lebih aman dan tidak ada kecurangan seperti yang terjadi pada pemilu sebelumnya. (AM)