Daily News | Jakarta – Pengesahan Revisi UU TNI dinilai sebagai indikasi Indonesia menuju sistem pemerintahan yang lebih otoriter. Direktur Eksekutif PARA Syndicate, Virdika Rizky, menilai proses pengesahan ini mencurigakan karena dilakukan secara cepat dan tanpa deliberasi publik yang memadai.
“Pengesahan ini menunjukkan negara semakin otoritarian dalam proses legislasi. Kebijakan menyangkut hubungan sipil-militer ditetapkan tanpa transparansi,” ujar Virdika, Rabu (19/3/2025).
Menurutnya, DPR dan Pemerintah mengabaikan penolakan publik, merampas kontrol sipil atas militer, serta mempersempit ruang demokrasi. Ia menegaskan bahwa legitimasi kebijakan tidak hanya bergantung pada prosedur, tetapi juga penerimaan publik. “Jika resistensi besar dari masyarakat diabaikan, ini menandakan pergeseran menuju otoritarianisme terselubung,” lanjutnya.
Sementara itu, Wakil Ketua Komisi I DPR dari Fraksi Golkar, Dave Laksono, menyatakan bahwa seluruh fraksi telah menyepakati isi draft RUU TNI yang akan disahkan dalam rapat paripurna pada Kamis (20/3/2025).
Ada agenda tersembunyi?
Virdika melihat ada kelompok yang ingin mengambil keuntungan dari revisi ini. Menurutnya, revisi UU TNI membuka celah bagi militer untuk kembali terlibat dalam urusan sipil secara legal, meskipun pemerintah menyangkal bahwa ini merupakan kebangkitan Dwifungsi ABRI.
“Jelas ada agenda politik di baliknya, dan itu harus diungkap,” ujarnya. Ia menilai revisi ini sebagai strategi politik untuk membangun aliansi kuat antara militer dan elite politik, yang dapat mengancam supremasi sipil dalam demokrasi.
Selain itu, ia juga menyoroti jejaring ekonomi dan bisnis militer di Indonesia. “Dengan revisi ini, kita harus bertanya: apakah ada kepentingan ekonomi yang sedang dilindungi?” tambahnya.
Virdika memperingatkan bahwa jika dibiarkan, revisi ini dapat mempercepat kemunduran demokrasi Indonesia. “Ini bukan sekadar perdebatan akademik, melainkan perlawanan terhadap kembalinya militerisme dalam politik,” tegasnya.
Jangan lemahkan profesionalisme TNI
Dalam diskusi di Universitas Islam Indonesia (UII) Yogyakarta, Jumat (21/3/2025), Anies Baswedan menyoroti revisi UU TNI. Ia menekankan bahwa revisi harus memastikan penguatan profesionalisme TNI tanpa mengalihkan fokus dari tugas utama sebagai institusi pertahanan.
Menurutnya, revisi UU setelah lebih dari dua dekade adalah hal wajar, tetapi harus dilakukan dengan hati-hati agar tidak membebani TNI dengan tugas baru yang dapat mengganggu perannya. “Kita semua ingin TNI yang kuat, profesional, dan fokus pada pertahanan negara,” ujarnya.
Anies juga mengingatkan bahwa sejarah perjuangan TNI sangat terkait dengan Yogyakarta. Ia menyoroti bahwa perubahan peran TNI harus mempertimbangkan prinsip demokrasi dan supremasi sipil.
Kritik terhadap proses revisi UU
Anies menilai revisi UU TNI dilakukan terlalu cepat tanpa partisipasi publik yang cukup. “Hingga kini, draft finalnya belum bisa diakses secara resmi,” ujarnya. Ia mencontohkan kebijakan lain seperti Omnibus Law dan proyek IKN yang bermasalah akibat keputusan tergesa-gesa.
Menurutnya, kebijakan yang disusun melalui dialog terbuka lebih matang dan minim kontroversi. “Jangan sampai revisi ini diputuskan dulu baru diperdebatkan. Seharusnya didiskusikan secara luas lebih dulu,” tambahnya.
Meritokrasi dan kesejahteraan prajurit
Anies juga menyoroti pentingnya meritokrasi dalam sistem promosi TNI. “Kenaikan pangkat harus berdasarkan prestasi, bukan koneksi atau hubungan keluarga,” tegasnya. Ia juga menekankan perlunya meningkatkan kesejahteraan prajurit, agar revisi ini benar-benar bermanfaat bagi TNI dan rakyat.
Menutup pemaparannya, Anies mengutip pesan Bung Karno tentang pentingnya netralitas militer dalam politik serta peran TNI sebagai garda pertahanan negara. Ia menegaskan bahwa revisi UU TNI harus melibatkan partisipasi publik agar tidak justru mengancam demokrasi Indonesia. (AM)
Discussion about this post