Daily News | Jakarta – “Ketidakkonsistenan ucapan Prabowo itu harus dihentikan. Kondisi ini harus menjadi perhatian pemerintah, untuk melakukan evaluasi dan memperbaiki tata kelola, mengambil kebijakan fiskal menyeluruh untuk memperbaiki sentimen negatif pasar dan kondisi fundamental ekonomi kita yang buruk.”
Maka, anjloknya nilai tukar rupiah terhadap dolar AS yang terjadi dalam beberapa hari ini, menunjukkan para pemegang kebijakan ekonomi tidak mempunyai resep untuk menanganinya. Sekuat apapun usaha dan upaya Bank Indonesia melakukan intervensi, pasar tidak memberikan sinyal positif. Yang terjadi adalah nilai Rupiah malah makin terpuruk.
Hal itu dikatakan pengamat ekonomi dan moneter yang juga staf pengajar ilmu ekonomi dari Universitas Negeri 11 Maret (UNS) Solo Nurmadi H Sumarta kepada KBA News, Selasa, 8 April 2025 menanggapi terpuruknya nilai rupiah itu. “Dengan kinerja yang buruk seperti itu, hanya soal waktu saja rupiah mencapai nilai Rp 17.000. Dan itu terjadi kemarin, Senin, nilai terpuruk di titik terendah. Bulan tidak mungkin, jika kondisi berlarut, Rupiah makin terjun bebas ke Rp 20.000,” kata salah seorang Presidium Forum Alumni Kampus Seluruh Indonesia (AKSI) itu.
Ditengarainya, hal itu terjadi karena Komunikasi Prabowo, Wapres, Menko, Wamen dan jajarannya memang buruk, gagap bahkan seolah tidak memahami substansi masalah apalagi solusinya. “Mereka suka gampangin masalah dengan merekrut orang-orang yang tidak kompeten dan tanpa kualifikasi yang memadai duduk di Kabinet. Banyak omon omon. Hingga kesannya Prabowo, Gibran, para menteri dan wamen seperti orang masih magang kerja, di bawah bimbingan Jokowi,” keluhnya.
Ditekankannya, efek dollar naik bisa berantai. Dari kedelai impor saja tahu tempe naik. BBM, Otomotif, Daging, bahan pangan juga naik. Belum lagi hutang luar negeri yang ikut membengkak. Kondisi rupiah yang terus melemah akan membuat harga barang ikut naik yang disebut sebagai imported inflation. Apabila berlanjut, maka inflasi barang konsumsi yang terkerek akibat pelemahan rupiah bisa semakin menekan daya beli masyarakat.
Penurunan nilai rupiah tentu saja tidak bisa dianggap sepele. Bahwa lemahnya mata uang rupiah akan berdampak luas pada perekonomian. Dunia usaha juga memiliki ketergantungan besar pada impor bahan baku dan barang perantara. Bahkan hutang ataupun investasi modal asing. Rumah tangga juga banyak konsumsi barang impor mulai gula, beras, daging, pakaian, elektronik, tekstil, mainan sampai bahan baku makanan rakyat seperti tempe dan tahu, yakni kedelai.
Dikatakannya, sesuai beberapa hasil kajian dampak pelemahan bagi keuangan negara juga tidak bisa diabaikan. Setiap pelemahan rupiah sebesar Rp100 per USD, maka defisit APBN 2025 akan bertambah Rp3,4 triliun. Beban yang menambah defisit APBN semakin besar. Dalam asumsi makro APBN, kurs dolar AS ditetapkan sebesar Rp16.100/US$. Rata-rata nilai tukar rupiah sepanjang tahun ini melemah di Rp16.344/US$, sehingga pelemahan mencapai Rp244/US$.
Alhasil, defisit APBN 2025 diperkirakan turut membengkak hampir Rp10 triliun. Apalagi kalau tetap bertengger Rp.16.600,- defisit APBN dari pelemahan rupiah bisa mencapai Rp.17 triliun. Akibat gejolak Tarif dagang AS, saat ini dollar sudah tembus Rp.17.217,- bisa berlanjut turun lagi.
Tekanan luar
Dijelaskan lebih lanjut, tekanan penguatan USD berdampak pada mata uang lawannya, menjadi salah satu faktor utama tekanan yang dihadapi oleh Rupiah dalam beberapa tahun terakhir. Dolar AS diburu terutama ketika ada ketidakpastian domestik dan prospek kebijakan bunga acuan The Fed diperkirakan bertahan di level tinggi dalam waktu lebih lama. Kondisi ini diperkuat penarikan modal asing akibat adanya sentimen pasar yang negatif dan fundamental ekonomi yang buruk.
“Investor asing juga terlihat semakin kurang berminat di SRBI (Sekuritas Rupiah BI). Per akhir Februari, posisi asing di instrumen ini mencapai Rp230,13 triliun, turun Rp32,04 triliun dari puncak kepemilikan pada akhir Oktober 2024. Bukan hanya dari SRBI, minat asing di SVBI (Sekuritas Valas BI) dan SUVBI (Sukuk Valas BI) juga turun terus,” katanya prihatin.
Secara agregat, jelasnya, nilai outflows dari tiga instrumen itu mencapai Rp3,41 triliun, selama bulan ini saja sampai data 17 Maret, di luar outflows pasar modal. Berlanjutnya outflows dari instrumen moneter mengindikasikan tanda tanya besar terkait efektivitas strategi BI memakai instrumen tersebut untuk menstabilkan rupiah.
Sementara untuk membantu rupiah bertahan dari tekanan pasar, BI kian getol menempuh jurus kontraksi maupun intervensi langsung ke pasar spot valas, pasar forward domestik dan ke pasar SBN. Bahkan meskipun SRBI menurun, suku bunga SRBI masih bertahan tinggi 6,40%. Strategi andalan itu pula yang ditempuh BI ketika rupiah mengalami overshooting kemarin.
BI sangat percaya strategi yang disebut dengan istilah triple intervention itu masih ampuh menahan tekanan pada rupiah, terutama dengan bekal nilai cadangan devisa yang menyentuh level rekor tertinggi dalam sejarah, sebesar US$ 156,08 miliar pada Januari kemarin. Turunnya kepercayaan investor hingga IHSG yang jatuh dan rupiah semakin lemah tentu tidak bisa sepenuhnya diserahkan BI.
“Faktanya dari penelitian LPEM UI, banyak pengamat menilai kondisi ekonomi kita semakin buruk. Ketika presiden yang berjanji mau mengejar koruptor, yang malah dikoreksi mau bisik-bisik damai. Ketika korupsi makin meluas tanpa tindakan yang semestinya. Ketika program MBG didahulukan dari penciptaan lapangan kerja. Ketika aturan banyak dilanggar untuk kepentingan sesaat. Ketika proses legislasi buru-buru, banyak demo dan tidak mendengar aspirasi rakyat. Bahkan ketika komunikasi Presiden, Wapres dan pejabat jajarannya buruk.
“Ketidakkonsistenan ucapan Prabowo itu harus dihentikan. Kondisi ini harus menjadi perhatian pemerintah, untuk melakukan evaluasi dan memperbaiki tata kelola, mengambil kebijakan fiskal menyeluruh untuk memperbaiki sentimen negatif pasar dan kondisi fundamental ekonomi kita yang buruk,” demikian Nurmadi H Sumarta. (AM).
Discussion about this post