Daily News | Jakarta – Bisakah gugatan membuktikan adanya kecurangan yang signifikan sehingga dapat mengurangi suara Pram-Rano, setidaknya sebanyak 0,7 persen itu? Sepertinya susah.
Maka, pasangan calon (paslon) nomor urut 3, Pramono Anung dan Rano Karno, berhasil memenangkan Pemilihan Gubernur (Pilgub) Jakarta 2024 dengan meraih 50,07 persen suara. Paslon yang diusung PDI Perjuangan dan didukung Anies Baswedan ini menang dalam satu putaran.
Di sisi lain, tim hukum Ridwan Kamil-Suswono (RIDO) berencana mengajukan gugatan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait hasil Pilgub Jakarta 2024. Mereka bersikeras bahwa Pilgub Jakarta seharusnya berlangsung dalam dua putaran.
Guru Besar Universitas Gadjah Mada, Prof. Dr. Indra Bastian, Ph.D., mengatakan bahwa keberadaan MK dalam sengketa Pemilu seperti mahkamah kalkulator. Artinya, keputusan bergantung pada angka-angka di bawah.
“Bisakah gugatan membuktikan adanya kecurangan yang signifikan sehingga dapat mengurangi suara Pram-Rano, setidaknya sebanyak 0,7 persen itu? Sepertinya susah,” jelas Prof. Indra saat dihubungi KBA News, Selasa, 10 Desember 2024.
Dia menjelaskan bahwa Pram-Rano secara de facto menang dalam satu putaran karena mendapatkan 50,07 persen suara. Angka 0,7 persen itu setara dengan sekitar 2.900-an suara. “Artinya, keunggulan itu tidak terlalu riskan bagi Pram-Rano. Kondisi menjadi riskan jika kelebihan suara dari 50 persen hanya berkisar antara 500 hingga 1.000 suara,” jelasnya.
“Jika kelebihan suara lebih dari 1.000, sulit untuk mengubah hasil, sehingga Pram-Rano tetap menang dalam satu putaran,” tegasnya.
Menurut dia, angka sekitar 2.900-an suara itu setara dengan 10 TPS, dengan asumsi setiap TPS memiliki daftar pemilih tetap (DPT) sebanyak 300 suara. “Selisih 1.000 suara sudah cukup stabil dan sulit untuk mengubah hasil agar suara turun menjadi kurang dari 50 persen,” ungkapnya.
Lulusan S2 dan S3 University of Kentucky, Amerika Serikat, itu menambahkan bahwa salah satu materi gugatan yang akan diajukan kubu Ridwan Kamil-Suswono adalah rendahnya partisipasi pemilih. Namun, menurutnya, tinggi atau rendahnya partisipasi adalah persoalan prosedural dalam pemilihan.
“Hal ini tidak terlalu substansial dalam menentukan hasil pemilihan, kecuali terjadi kecurangan yang bersifat terstruktur, sistematis, dan masif (TSM),” jelasnya.
Namun, kata dia, di Jakarta, hal ini tampaknya sulit terjadi karena masyarakat aktif mengawasi, terlebih di era digital seperti sekarang. Kalau pun ada kecurangan, kemungkinan hanya bersifat sporadis dengan jumlah yang kecil. Bahkan, bisa jadi pihak yang kalah juga melakukan kecurangan tersebut. (AM)