Daily News | Jakarta – Guru Besar IPDN, Prof Dr Djohermansyah Djohan, mengatakan pasangan Ridwan Kamil dan Suswono (Rido) sebaiknya tidak usah mengajukan gugatan hasil Pilkada DKI Jakarta. Sebab, kalau tindakan ini dilakukan hanya membuat citra keduanya menjadi buruk dan juga tak rasional karena perolehan suaranya terpaut jauh dengan suara Pramono Anung Rano Karno.
‘’Pasangan Rido tidak usahlah mengajukan gugatan ke MK. Ini karena jarak perolehan suaranya dengan pasangan Pramono Anung-Rano Karno terlalu jauh, lebih dari 10 persen. Bila tetap mengakukan gugatan maka justru kesannya dalam pandangan warga Jakarta yang itu pemilih rasional, keduanya menjadi sosok yang ‘ngeyel’ dan tidak mempunya hati yang lapang. Maka gugatan ke MK tak ada untungnya bagi pasangan Ridho,’’ kata Djohermansyah Djohan, Senin sore 9 Desember 2024.
Menurutnya bila dikaji dalam pelaksanaan Pilkada Jakarta 2024 kali ini ada beberapa macam pelajaran yang bisa dipetik. Pertama, demokrasi itu memang sudah menduduki tempat terhormat di kalangan rakyat Indonesia sehingga jangan sampai dirusak. Maka bila ada yang ingin merusak, maka pihak itu pasti akan mendapat perlawanan dari seluruh elemen rakyat.
‘’Ini karena demokrasi adalah kekuatan rakyat, bukan kekuatan kekuatan segelintir elit. Maka bila rakyat melawan kekuatan yang ingin merusak itu, maka pihak rakyatlah yang akan unggul. Kekuatan elit akan tersingkir,’’ ungkapnya.
Kedua, dari konteks masyarakat, kini terbukti bahwa kekuatan rakyat Jakarta mempunya pemilih yang rasional dan mandiri. ’’Berbeda dengan pemilih di wilayah lain, pemilih Jakarta itu pemilih rasional. Mereka paling baik tingkat rata-rata pendidikannya, punya kekuatan ekonomi yang lebih mapan, sehingga lebih rasional. Akibatnya mereka tahan lebih tahan akan politik uang, bagi sembako dan bansos, atau iming-iming program yang tidak masuk akal.”
Ketiga, lanjut Djohermansyah adalah dukungan aturan Pilkada yang lebij baik. Ini karena berbeda dengan wilayah lain, Pilkada Jakarta mengharuskan kemenangan yang mayoritas mutlak atau lebih dari 50 persen. Sedangkan Pilkada di wilayah lain phak pemenang Pilkada cukup dengan meraih suara mayoritas sederhana atau suara terbanyak. ‘’Maka itulah Pilkada Jakarta ada potensi dua putaran karena pemenangnya harus meraih suara mayoritas mutlak. Karena itulah pemenang Pilkada Jakarta akan lebih kuat legitimasinya dari pada pemenang Pilkada di wilayah lain.”
‘’Pelajaran keempat adalah bagi mantan Presiden Jokowi. Endorse dia ternyata di Jakarta yang pemilihnya rasional dan mapan, tidak berlaku. Pengaruh dia di Pilkada kali ini kalau pun belum sirna sepenuhnya hanya ada di wilayah di mana pemilihnya cenderung bukan pemilih rasional dan mandiri. Di daerah itu mungkin saja masih bisa di pengaruhi karena tingkat rata-rata pendidikannya rata-rata hanya tamat SD atau tidak tamat SMP. Para pemilihnya juga secara ekonomi tidak tergolong tidak semapan pemilih Jakarta. Jadi masuk akal bila endorsemen Jokowi masih laku di beberapa daerah di luar Jakarta,’’ tegasnya.
Pelajaran dari Pilkada Jakarta yang kelima adalah terkait pada posisi Presiden Prabowo dan elit pejabat masa kini.’’ Melalui Pilkada Jakarta ini mereka harus menyadari bahwa jangan sekali-kali menyepelekan aspirasi rakyat. Ingat bila suara rakyat itu suara Tuhan,’’ tutup Djohermansyah Djohan. (DJP)