Daily News | Jakarta – Tanggul laut di Perairan Mauk Tangerang, Banten, sepanjang 30,16 km yang belum jelas siapa pembuat dan pelakunya, merupakan bentuk sabotase dan kejahatan terhadap kedaulatan negara. Perilaku ini mencerminkan oligarki bermental kolonial yang congkak. Pemerintah harus tegas mengusut dan menyeret pelakunya ke pengadilan.
Pengamat politik sekaligus pakar kebijakan publik Sudrajat Maslahat mengemukakan pandangan itu kepada KBA News, Minggu, 12 Januari 2025, menanggapi laporan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Tangerang yang menemukan tanggul bambu di Perairan Banten. Hingga kini, belum ada yang mengaku bertanggung jawab atas pembangunan tanggul itu, tetapi sudah jelas siapa yang membangunnya.
“Siapa lagi? Ini kawasan Pantai Indah Kapuk-2 (PIK-2). Tentu saja mereka yang bertanggung jawab, meski mereka membantah membangunnya. Sulit dipercaya masyarakat atau nelayan setempat bisa melakukannya. Mereka tidak punya dana, dan konyol sekali kalau mereka menutup akses mereka sendiri ke laut untuk mencari ikan,” kata alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Indonesia (FISIP UI) itu.
Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono telah menerima instruksi dari Presiden Prabowo untuk menyegel dan membongkar tanggul tersebut. Namun, ada keterlambatan dalam menentukan siapa yang membuat tanggul tersebut. “Aneh, kan? Kok pemerintah tidak tahu siapa yang membangunnya? Apa kita harus percaya itu Sangkuriang atau Bandung Bondowoso?” canda Sekretaris Jenderal Front Gerakan Perubahan Nasional (FPPN) itu.
Sangkuriang terkenal dalam legenda karena membangun perahu untuk menikahi ibunya, sementara Bandung Bondowoso terkenal karena membangun 1.000 candi dalam legenda Loro Jonggrang, semuanya dalam satu malam. Perbandingan ini menyoroti betapa tidak masuk akalnya bagi pemerintah untuk tidak mengetahui siapa yang membangun tanggul laut yang panjang itu.
Zona Ekonomi Eksklusif
Seorang aktivis dari Voice of Banten, yang membela hak-hak masyarakat Banten terhadap ketidakadilan PIK-2, menambahkan bahwa Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) adalah wilayah maritim yang berada di luar dan berbatasan dengan perairan teritorial negara pantai. ZEE membentang sejauh 200 mil laut dari garis dasar negara pantai tersebut. Tanggul laut tersebut masih berada di dalam ZEE Indonesia.
Ia menjelaskan bahwa konsep ZEE didasarkan pada kebutuhan negara pantai untuk memperluas yurisdiksi maritimnya. Negara yang memiliki ZEE memiliki hak berdaulat untuk mengeksplorasi, mengeksploitasi, mengelola, dan melestarikan sumber daya alam di dalamnya. “Jadi, negaralah yang memiliki hak, bukan pengembang atau pengusaha, meskipun mereka punya uang,” katanya.
Ia mengaku heran dengan arogansi yang ditunjukkan PIK-2. Bahkan sebelum Proyek Strategis Nasional (PSN) PIK-2 rampung, mereka sudah dengan arogan memagari laut. Apa yang akan terjadi setelah proyek itu rampung? Tanggul laut itu bisa jadi tempat berlabuh barang-barang ilegal, narkoba, atau bahkan tempat pendaratan orang-orang dari daratan Tiongkok.
Ia mengakui pemerintah sudah bertindak baik dengan menutup wilayah itu dan memberi ultimatum 20 hari untuk membongkar tanggul itu. Namun, ia menyarankan agar pemerintah bertindak cepat dan tidak menunggu batas waktu pembongkaran tanggul. “Berikan ultimatum untuk segera membongkarnya atau hadapi konsekuensi hukum yang berat,” usulnya.
Sementara itu, mereka yang membangun tanggul laut itu berebut mencari alasan, dengan suara-suara dari kelas bawah, yang kemungkinan dibayar, mengklaim bahwa tanggul itu dibuat untuk mencegah abrasi laut. “Kita hanya bisa tertawa. Bagaimana bambu bisa digunakan untuk mencegah abrasi? Jelas mereka tidak menggunakan akal sehat dan asal menjawab. Kami ingin pemerintah bertindak tegas,” kata Sudrajat Maslahat.
Discussion about this post