Daily News | Jakarta – Tanpa putusan MK Pilgub Jakarta akan mengulangi skenario sandiwara pilwalkoti Solo.
Tiga pasangan calon (paslon) Gubernur dan Wakil Gubernur di Pilkada Jakarta menjadikan rakyat tidak bisa menyalurkan aspirasinya sesuai hati nurani. Seakan tiga paslon tersebut dipaksakan untuk dipilih padahal tidak sesuai dengan keinginan rakyat Jakarta yang sesungguhnya.
Pernyataan ini mengemuka dalam dialog yang ditayangkan melalui akun YouTube Podcast Pedjuang. Podcast dengan host Muhammad Chozin itu menghadirkan narasumber Gugun Muhammad (Guntoro), seorang aktivis Masyarakat Miskin Kota (Urban Pure Consortium).
Dalam pandangan Gugun, gerakan coblos semua paslon ini merupakan bentuk protes. Namun tetap disalurkan secara konstitusional. Yakni melalui momentum Pilkada 2024. Dikatakannya, selama ini orang menganggap bahwa menyalurkan hak itu hanya dengan cara memilih.
“Sebenarnya ada cara lain juga bahwa menyalurkan hak itu bisa dengan tidak memilih. Jadi tidak memilih itu bisa tidak datang atau datang tetapi coblos semua. Jadi tidak memilih salah satu dengan membuat suara tidak sah. Tapi ini adalah ekspresi protes,” tegas aktivis asal Jogjakarta itu.
Menurutnya, gerakan ini meluas khususnya di Pilkada Jakarta. Diakui, pihaknya kecewa karena selama ini mengusung ide, gagasan dan usulan-usulan masuk dalam agenda elektoral. Tujuannya, supaya pemilu itu tidak hanya kepentingan elit tapi agenda rakyat juga masuk.
Pada 2017, tambahnya, gerakan yang dibuat sukses saat kontrak politik dengan Anies Baswedan. Evaluasi yang dilakukan terbilang sukses walaupun tidak 100 persen. Tetapi mendekati 100 persen. Itu bisa dibilang luar biasa kalau dibandingkan dengan pengalaman sebelumnya.
“Tapi 2024 ini kita kecewa karena sistem pemilu kita diakali. Orang sekelas Anies dengan elektabilitas tertinggi dan aspirasi rakyat juga tinggi tapi tidak bisa maju. Di lain pihak ada orang yang haus kekuasaan. Kemudian membuat koalisi partai yang gemuk sehingga merugikan pihak lain. Ada pihak yang dijegal,” tandas Gugun.
Dengan adanya kenyataan itu, kata dia, pasti ada yang salah dalam pelaksanaan sistem demokrasi yang diakali. Ada pihak yang haus kekuasaan. Sedangkan ada figur yang diaspirasikan oleh rakyat dan ternyata dijegal. Ini menjadi pertanyaan besar. Kenapa hal itu bisa terjadi di alam demokrasi Indonesia yang seharusnya makin matang.
Dengan adanya tiga pasangancalon di Pilkada Jakarta, imbuhnya, rakyat hanya diberikan pilihan yang sangat terbatas. Dalam asas pemilu itu ada asas bebas. Dalam arti orang bebas dalam menentukan pilihannya. Tapi ternyata pilihan yang diberikan sangat terbatas.
Gugun menyampaikan, rakyat tidak ikut dalam proses penjaringan. Dan dalam proses penjaringan itu yang dipotong. Rakyat mempunyai aspirasi dari sejak awal tetapi tidak digubris. Mereka hanya otak-atik untuk mendapatkan kekuasaan. Sehingga banyak kasus di luar Jakarta calonnya tunggal melawan kotak kosong.
“Di Jakarta kalau tidak ada putusan MK akan melawan calon boneka. Akan sama persis seperti ketika kasus di Solo. Dalam arti ada pihak-pihak yang men-setting membajak demokrasi untuk kepentingan mereka,” ungkap Gugun. (DJP)