Daily News | Jakarta – Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto hingga kini belum sepenuhnya menunjukkan stabilitas yang diharapkan. Fenomena “matahari kembar” antara Prabowo dan mantan Presiden Joko Widodo (Jokowi) masih menjadi isu yang menghambat efektivitas visi dan misi presiden.
Pengamat Politik Dr. Martadani Noor, MA, mengatakan, pengaruh mantan presiden Joko widodo (Jokowi) dalam pemerintahan Presiden Prabowo Subianto hingga kini masih kuat. Hal itu tanpak sejak pelantikan hingga 60 hari Prabowo masih berada dalam bayang-bayang mantan presiden.
Prabowo dan Jokowi ibarat “Matahari Kembar”. Kondisi ini tentu mengganggu Prabowo dalam mewujudkan visi dan misinya saat kampanye Pilpres 2024 lalu.
Dekan Fisipol Universitas Widya Mataram (UWM) Yogyakarta ini mengungkapkan, fenomena “matahari kembar” kemungkinan besar masih terjadi hingga 100 hari pertama masa pemerintahan.
“Ibarat ‘matahari kembar’ ini masih terjadi, bahkan hingga 100 hari ke depan. Genuinitas atau visi-misi yang ditawarkan Prabowo pada masa kampanye sulit diwujudkan karena masih ada tarik-menarik antara Prabowo dengan mantan presiden,” ujar Martadani.
Martadani mengatakan, seperti timbangan, situasinya belum seimbang terhadap genuinitas Prabowo, karena ternyata kekuatan atau pengaruh mantan presiden masih sangat kuat. Pengaruh tersebut terlihat pada institusi seperti kepolisian, sebagian TNI, bahkan intelijen.
Dia juga mengamati resistensi kekuatan mantan presiden yang semakin terlihat. “Kita bisa lihat, Wakil Presiden Gibran seolah ‘semakin liar’ dalam koordinasi dengan presiden. Bahkan, sekali dua kali rapat kabinet dilakukan tanpa kehadiran wapres. Tentu ini tidak lazim, mengingat rapat kabinet biasanya dihadiri oleh wakil presiden,” ungkapnya.
Fenomena ini semakin diperparah ketika agenda genuinitas Prabowo belum selesai, tetapi wapres lebih dulu meninggalkan pengarahan presiden. Selain itu, terdapat tarik-menarik di anggaran, seperti pemotongan anggaran makan gratis bergizi dari Rp15.000 menjadi Rp10.000 per porsi.
Ini menunjukkan adanya pengaruh mantan presiden melalui wapres yang masih kuat. “Tak hanya seperti ada matahari kembar, tapi juga ada kabinet di dalam kabinet,” tegas Martadani.
Menurut dia, fenomena “matahari kembar” memiliki dampak besar pada efektivitas pemerintahan. Visi dan misi Prabowo menjadi terganggu, bahkan sulit dicapai. “Efektivitas birokrasi terhambat, terutama kementerian-kementerian yang masih berada di bawah kendali mantan presiden. Hal ini menyebabkan anggaran tersedot untuk agenda yang tidak selaras dengan visi dan misi presiden,” jelasnya.
Ia mencontohkan program makan siang gratis yang awalnya dirancang dengan anggaran Rp15.000 per porsi kini turun menjadi Rp10.000. “Fiskal terbatas. Awalnya, anggaran program ini diproyeksikan sebesar Rp80 triliun. Namun, setelah dilantik, terjadi penyusutan anggaran yang signifikan,” tambah Martadani. (EJP)