Daily News | Jakarta – Dalam sebuah diskusi bertema Pemuda dalam Bernegara: Peran Strategis dalam Demokrasi yang Konstruktif*, Anies Baswedan memberikan pandangan mendalam mengenai pentingnya semangat belajar, khususnya dalam kepemimpinan bagi generasi muda.
Acara yang diadakan oleh Intellectual Leadership School (ILS) Universitas Sebelas Maret (UNS) ini berlangsung di UNS Inn Indraprastha, Solo, Jawa Tengah, pada Selasa, 22 Oktober 2024.
Anies memulai dengan menekankan bahwa anak muda harus memiliki semangat belajar, terutama dalam memahami esensi kepemimpinan. Insyaallah, teman-teman memiliki bekal untuk mencapai itu,” ujar Anies di hadapan para peserta seperti dalam YouTube dikutip KBA News.
Dimulai dari pengikut
Anies menegaskan bahwa esensi kepemimpinan berasal dari adanya pengikut. “Yang membuat seseorang disebut pemimpin adalah pengikut. Tanpa pengikut, tidak ada pemimpin,” kata Anies.
Ia memberikan analogi sederhana dari kehidupan sehari-hari. “Misalnya, seseorang sedang salat sendirian di mihrab, di sajadah imam. Bolehkah dia menyebut dirinya imam? Tidak bisa, kecuali ada makmum.”
Dengan contoh tersebut, Anies menekankan bahwa seorang pemimpin hanya bisa diakui jika ada yang mengikuti. “Jadi, seseorang disebut imam jika ada makmum. Ini adalah dasar kepemimpinan yang jangan sampai dilupakan,” tambahnya.
Menurut Anies, ini adalah prinsip mendasar dalam memimpin: menghormati pengikut sama pentingnya dengan memiliki visi sebagai pemimpin. “Insyaallah, jika kalian memahami ini, kalian bisa menjadi pemimpin yang hebat.”
Kepemimpinan Anak Muda: Pengakuan dari Sebaya
Di tengah diskusi, Anies juga membahas konteks kepemimpinan di kalangan anak muda. Menurutnya, pengakuan dari teman sebaya menjadi penentu apakah seseorang layak disebut pemimpin. “Di kalangan anak muda, seseorang disebut pemimpin jika diakui oleh sebayanya. Jika teman sebayanya tidak mengakui, maka dia belum bisa disebut sebagai pemimpin,” jelas Anies.
Ia menambahkan bahwa hubungan antara pemimpin dan yang dipimpin harus dibangun atas dasar saling menghormati. “Pemimpin harus menghormati yang dipimpin, dan yang dipimpin harus mengakui kepemimpinannya. Ini adalah simbiosis yang tak terpisahkan dalam kepemimpinan yang efektif.”
Selain membahas esensi kepemimpinan, Anies juga memberikan perspektif menarik tentang definisi muda dan tua, yang menurutnya lebih kompleks daripada sekadar angka usia. “Seseorang disebut muda jika yang dibicarakan adalah masa depan, dan disebut tua jika yang dibicarakan adalah masa lalu,” ungkapnya.
Anies mencontohkan, meskipun seseorang berusia 70 tahun, jika pembicaraannya selalu tentang masa depan, maka ia masih tergolong muda dalam pandangannya. Sebaliknya, jika ada yang berusia 30 tahun, tetapi fokus pada masa lalu, maka orang tersebut dianggap sudah tua. “Tua atau muda bukan hanya soal umur, tetapi tentang perspektif yang sering dibicarakan,” jelas Anies.
Dengan pendekatan ini, Anies berharap generasi muda dapat terus menjaga semangat optimisme dan visi masa depan yang kuat. Baginya, kepemimpinan sejati tidak hanya soal umur atau pengalaman, tetapi juga kemampuan untuk memandang ke depan dan membawa perubahan positif.
Acara ini diakhiri dengan diskusi interaktif, di mana para peserta diajak untuk merenungkan peran strategis pemuda dalam memperkuat demokrasi yang konstruktif di Indonesia. Anies berharap agar generasi muda terus mengembangkan potensi kepemimpinan mereka dengan bekal pengetahuan, semangat, dan keberanian untuk membawa perubahan di masa depan. (EJP)