Daily News | Jakarta – Jika sistem politik yang ada saat ini memungkinkan terbentuknya kubu yang merancang koalisi permanen, maka pihak di luar koalisi itu akan mengumpulkan diri untuk melawan.
Presiden Prabowo Subianto berencana membentuk Koalisi Permanen yang meliputi partai politik di Koalisi Indonesia Maju (KIM). Jika wacana ini terwujud, PDIP dan Anies Baswedan punya kans bersekutu sebagai penyeimbang koalisi gemuk itu.
Guru Besar Universitas Negeri Yogyakarta, Prof. Dr. Dimyati, M.Si., mengatakan, memang wacana Koalisi Permanen sudah terasa mengingat perkembangan politik saat ini, di mana PDIP bisa dikatakan ditinggalkan atau dianggap tidak penting oleh Presiden Prabowo. Tampak terlihat Prabowo lebih memilih bersekutu dengan Jokowi.
“Padahal, kita mengetahui bahwa bersatunya Prabowo dengan Jokowi otomatis menyingkirkan PDIP dari kekuasaan,” katanya saat dihubungi KBA News, Rabu, 25 Februari 2025.
Menurut dia, tentunya PDIP sebagai partai yang terpinggirkan oleh kekuasaan, untuk bisa bergerak atau memegang kendali pemerintahan, harus berkoalisi atau mengajak teman dari kelompok di luar kuasa Prabowo dan Jokowi. “Dan itu adalah pilihan yang rasional ketika PDIP mengajak Anies Baswedan, termasuk untuk 2029, meski masih jauh dan situasinya masih sangat cair,” jelasnya.
Prof. Dimyati mengatakan, meski sistem Pilpres 2029 mendatang tidak dibatasi oleh ambang batas pencalonan presiden 20 persen, maka dinamika politik sangat fleksibel. Namun, kemungkinan PDIP dan Anies bersatu tetap bisa terjadi. “Jika sistem politik yang ada saat ini memungkinkan terbentuknya kubu yang merancang koalisi permanen, maka pihak di luar koalisi itu akan mengumpulkan diri untuk melawan,” katanya.
Secara psikologis, kata Prof. Dimyati, PDIP akan mencari mitra politik untuk berkoalisi. Koalisi ini bukan hanya dalam arti bersekutu dengan partai lain, tetapi juga bisa dengan tokoh yang dianggap dijauhi rezim. “Anies adalah salah satunya. Saat ini, tokoh yang paling ideal adalah Anies Baswedan, seorang figur dengan pengaruh luas di negeri ini,” ujarnya.
Mengurai Rekam Jejak Anies dan PDIP
Menurut Prof. Dimyati, sekat-sekat polarisasi antara Anies dan PDIP yang pernah berbeda pada pengalaman Pilkada 2017, terlihat sudah mencair. Sudah ada hubungan positif seperti saat Pilgub DKI Jakarta 2024, yang tercermin dalam hubungan yang semakin baik antara Anies dan Ahok.
“Padahal, keduanya selama ini dianggap sulit untuk bertemu dalam satu kepentingan. Namun, karena ada kesamaan tujuan, akhirnya mereka bisa bersatu. Hal yang sama juga bisa terjadi antara Anies dan PDIP. Di tingkat akar rumput, antara pendukung Anies dan Ahokers juga bisa bersatu,” papar Prof. Dimyati.
Menurut dia, inilah ciri khas politik Indonesia. Perbedaan ideologi akan luntur ketika dihadapkan pada kepentingan bersama. “Itulah uniknya politik Indonesia—ideologinya terlihat tidak kaku, selama ada kepentingan bersama, maka persatuan bisa terjadi. Indikasi ke arah sana cukup kuat, seperti sinyalemen bersatunya pendukung Anies dan Ahokers di Pilgub Jakarta 2024,” paparnya.
Pada prinsipnya, kata Prof. Dimyati, PDIP pasti akan mencari mitra politik, mengingat posisinya sebagai partai pemenang pemilu yang kini tersingkir atau ditinggalkan. “Semua orang tahu karakter PDIP sebagai partai yang solid dan memiliki sejarah panjang dalam perpolitikan Indonesia. Dan pilihan rasionalnya adalah mengajak sosok yang punya pengaruh, termasuk Anies Baswedan,” pungkasnya. (DJP)
Discussion about this post