Daily News | Jakarta – Motif pemerintah mempertahankan status quo pembodohan rakyat cara karena lebih murah dan lebih mudah memenangkan pemilu berikutnya dengan membeli suara rakyat pemilih.
Politik uang terus terulang dari pemilu ke pemilu. Bahkan, pada pemilu terakhir, jorjoran bantuan sosial (bansos) hingga pengerahan aparat TNI/Polri turut mewarnai pesta demokrasi. Mengapa hal ini terjadi?
Guru Besar UGM Yogyakarta, Prof. Dr. Indra Bastian, Ph.D., mengatakan politik uang makin marak karena tingkat pendidikan mayoritas rakyat Indonesia masih rendah. Semakin tinggi pendidikan berkorelasi dengan melek politik.
Dia pun mempertanyakan mengapa politik uang terus terulang. “Apakah elit politik tidak paham atau sengaja membiarkan masyarakat tetap tidak berpendidikan agar suaranya mudah dibeli? Hal ini perlu dipertanyakan,” katanya saat dihubungi KBA News, Jumat, 18 Oktober 2024.
Lulusan S2 dan S3 University of Kentucky, Amerika Serikat, ini berpendapat, setiap rezim pasca-Reformasi tidak serius menangani pendidikan. Rupanya, 10 persen dari 20 persen anggaran pendidikan juga digunakan untuk lembaga dan gaji tenaga pendidikan. “Jadi, anggaran itu memang tidak difokuskan pada peningkatan kualitas SDM atau anak didik,” tegasnya.
Dia menegaskan, pemerintah harus fokus meningkatkan kualitas SDM dari SD dan SMP ke tingkat SMA. Itu adalah tugas utama pemerintah. Jika kualitas SDM baik, negara ini bisa maju lebih cepat. “Masyarakat kreatif akan lebih cepat membayar utang luar negeri karena kreativitas memungkinkan negara mengurangi impor dan meningkatkan ekspor,” jelasnya.
Prof. Indra pun menduga, setiap rezim membiarkan rakyat tidak melek politik. Tujuannya agar suaranya bisa dengan mudah dibeli, dengan iming-iming uang atau bansos. “Motifnya mungkin seperti itu, masyarakat sengaja dibiarkan tidak **melek** politik. Dengan kata lain, pendidikan bukan menjadi prioritas utama,” katanya.
Pasalnya, jika masyarakat sudah pintar, bantuan sosial (bansos) tidak menarik lagi bagi mereka. “Masyarakat yang rata-rata berpendidikan SMA ke atas, tidak akan mau menerima Rp300 ribu,” tegasnya.
“Politik uang terjadi karena, mohon maaf, masyarakat tidak berpendidikan, tidak melek politik, dan tidak berkualitas baik, sehingga mudah dibeli dengan harga murah. Kualitas SDM yang rendah membuat mereka lebih mudah menerima bansos,” jelas Prof. Indra.
Jika kualitas SDM mereka setingkat S1, mereka bisa mencari uang sendiri, dan bansos tidak lagi menarik. Karena kualitas SDM yang stagnan, bansos tetap laku.
Prof. Indra kembali menegaskan, pemerintah selalu berulang kali gagal mencerdaskan masyarakat. Seharusnya, peningkatan kualitas SDM menjadi kebijakan utama. “Maka, wajar jika ada pernyataan bahwa motif pemerintah adalah mempertahankan cara ini karena lebih murah dan lebih mudah memenangkan pemilu berikutnya dengan membeli suara masyarakat,” jelasnya.
Dia mengatakan, dalam lima tahun ke depan, memang tidak mungkin menyelesaikan semua masalah bangsa. Namun, prioritas utama seharusnya adalah peningkatan kualitas SDM.
Jika pemerintah berani melaksanakan program ini, maka pada 2029 kualitas pemilih akan berbeda, lebih berpendidikan, dan lebih melek politik. Pemilih pada 2034 juga akan semakin cerdas.
Namun, ini menjadi tantangan. Pemerintah mungkin berpikir untuk memilih jalan yang lebih mudah, dengan mempertahankan bansos seperti sebelumnya. “Cara ini mungkin akan terus berulang, dari 2014 hingga 2024, dan mungkin seterusnya,” katanya. (DJP)