Daily News | Jakarta – Sistem politik Jepang dan Malayisa memang mengadopsikan demokrasi Barat tetapi mereka berhasil memasukkan nilai-nilai kearifan lokal yang membuat mereka melayani rakyat bukan seperti kita yang terkesan lebih melayani orang-orang kaya, dinasti politik dan pemilik modal.
Maka, keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang meniadakan ambang batas pemilihan Presiden (Presidential Threshold atau PT ) pada satu sisi perlu disikapi dengan gembira tetapi pada sisi lain sebenarnya itu tidak mengubah praktek politik yang berdasarkan pada kearifan lokal dan kepentingan rakyat secara keseluruhan.
Pengamat ekonomi dan politik senior yang juga Gurubesar IPB Bogor Didin S Damanhuri menyatakan hal itu kepada KBA News, Jum’at, 3 Januari 2025 menyikapi keputusan MK yang dikeluarkan kemarin. MK menerima uji materi atas UU no 7 tahun 2017 tentang Pemilihan Umum. Dalam UU itu disebutkan untuk menjadi calon Presiden harus diajukan oleh partai atau gabungan partai yang mempunyai suara 20 persen di DPR-RI. Ketentuan tersebut dibatalkan MK.
Menurut pendiri dan peneliti Indef itu, keputusan MK tersebut cukup menggembirakan bagi demokrasi tetapi itu jauh dari cukup dibandingkan harapan untuk memperbaiki sistem politik dan hukum yang sudah sangat rusak sekarang ini. Diakuinya, keputusan itu berdampak akan banyak Capres yang bisa diajukan di Pilpres 2029 dibadingkan dengan selama ini dibatasi oleh PT 20 persen.
“Masalah pokoknya bukan di situ. Sebab, mungkin ide pokoknya dari, katakanlah, dari partai Gerindra, misalnya, akan mengajukan mengajukan usul amandeman bahwa pemilihan langsung diganti dengan pemilihan di DPRD mulai dari pemilihan Bupati, Walikota dan Gubernur. Juga tidak tertutup kemungkinan mereka akan mengajukan Pilpres lewat MPR jika kita kembali ke UUD 1945 yang asli. Jika itu terjadi sebelum 2029 maka keputusan MK itu tidak akan ada artinya,” katanya.
Masalah besarnya adalah sistem politik kita saat ini sangat mahal dan rawan politik uang (money politics). Praktek itu sangat mengerikan dan tertinggi di dunia. Bukan hanya serangan fajar tetapi juga serangan malam, subuh, siang dan sore. Semua itu ilegal di mana rakyat dininabobokan dengan uang dan makanan pokok, raskin yang hanya cukup buat beberapa hari atau bulan yang jauh dari kesejahteraan rakyat.
Juga transaksi politik di semua lini dan jaringan kekuasaan yang terjadi di semua daerah dan pusat dengan tujuan memperkaya diri. Semua kandidat yang berminat harus mengeluarkan dan memberi mahar kepada partai atau pimpinannya. Belum lagi tingkah laku politik pasca pemilu di mana saat ini terjadi praktek transaksi dalam proses legislasi dan kebijakan.
“Tujuannya adalah memperoleh cuan besar yang menyebabkan proses legislagi tidak tepat sasaran, tidak menunjang kemakmuran dan kesejahteraan rakyat. Di tingkat Pusat saja, saat ini, ada UU yang bias, tidak untuk membantu dan menolong rakyat tetapi terlihat sangat mendukung dan melindungi oligarki. Sepert UU Minerba, KPK, Omnibus Law dan beberapa yang lain,” kata pengarang banyak buku bidang ekonomi pertanian itu.
Hasilkan supremasi hukum
Pertanyaan pokok atas Keputusan MK itu adalah apakah sistem politik kita telah menghasilkan supremasi hukum di mana rakyat terjamin keadilan dan kesejahteraannya lewat proses politik dan kebijaksanaan. Supremasi hukum itu menjamin hak semua orang, tanpa latar belakang politik, ekonomi dan primordial.
Pertanyaan berikutnya, tambahnya, apakah Keputusan MK itu menjamin kualitas kepemimpinan, proses legislasi dan kebijakan-kebijakan pembangunan yang bisa mensejahterakan dan meliputi seluruh rakyat yang bisa meratakan proses dan hasil pembangunan.
Nyatanya, keluhnya, proses politik yang berlangsung saat ini didominasi oleh sekelompok kecil elit politik dinasti, koncoisme yang kental dan pemilik modal yang makin kaya secara nyata sementara mayoritas rakyat makin termarjimalisasi oleh proses dan praktek poltik.
Dia mensinyalir, secara fundamental, proses politik di indonesia harus berbasis kearifan lokal dan nilai-nilai Pancasila di mana demokrasi menjamin hak-hak rakyat untuk hidup layak dan terhormat. Sekarang nyatanya tidak, nilai dan kearifan lokal itu dikesampingkan seakan tidak dibutuhkan dianggap sampah. Kalau pun ada yang menyinggung itu hanya sebagai pemanis mulut saja.
Dikatakannya, dengan mencontoh demokrasi dari luar yang tidak sesuai dengan kearifan lokal dan Pancasila itu kita malah mendapat akses negatifnya berupa sampah, seperti LGBT, narkoba, prostitusi, judi online, pinjaman online, akses negatif internet yang masuk sampai ke kamar-kamar generasi muda Gen Z. Itu masuk tanpa tersaring yang membawa akses negatif yang membahayakan tanpa dijaga oleh nilai-nilai keagamaan dan ketuhanan.
“Untuk para elit negeri ini, yaitu Prabowo dan jajarannya sebaiknya harus melakukan evalusi agar bangsa ini bisa menjamin supremasi hukum dan realisasi nilai-nilai Pancasila dalam proses politik, Sekali lagi, keputusan MK itu menggembirakan tetapi belum cukup untuk menjadi pintu masuk ke sistem politik yang egaliter dan diharapkan seluruh rakyat,” kata laki-laki yang terkenal jujur dan sederhana itu.
Ditambahkannya, kita harus mencontoh Jepang atau Malaysia di mana sistem politik mereka memang mengadopsikan demokrasi Barat tetapi mereka berhasil memasukkan nilai-nilai kearifan lokal yang membuat sistem politik mereka melayani rakyat bukan seperti kita yang terkesan lebih melayani orang-orang kaya, dinasti politik dan pemilik modal. (HMP)
Discussion about this post