Daily News | Jakarta – Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden (presidential threshold) menjadi angin segar bagi demokrasi Indonesia. Keputusan ini membuka peluang lebih luas bagi calon presiden dari berbagai kalangan, sekaligus memberikan ruang bagi figur nonpartai untuk tampil dan berkontribusi dalam membangun bangsa.
Guru Besar Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY), Prof. Dr. Heru Kurnianto Tjahjono, menyebut keputusan MK ini sebagai titik balik bagi sistem politik Indonesia. “Iklim ini memberi kesempatan yang lebih luas kepada tokoh-tokoh yang kompeten, termasuk dari kalangan nonpartai,” ujarnya kepada KBA News, Kamis, 1 Januari 2025.
Heru menambahkan, tokoh seperti Anies Baswedan menjadi salah satu figur yang layak menjadi sorotan pasca putusan ini. “Anies Baswedan adalah sosok pemimpin yang teguh dengan nilai-nilai kebangsaan. Dia selalu berupaya membangun sinergi dengan berbagai partai politik dan elemen bangsa. Dalam situasi seperti ini, pemimpin yang inklusif seperti Anies sangat dibutuhkan untuk mewujudkan kemajuan bangsa,” tegasnya.
Pengajar kepemimpinan dan perilaku organisasional di UGM dan UMY ini mengungkapkan, keputusan MK ini berpotensi mendorong munculnya calon-calon dari bawah (bottom-up) yang memiliki integritas, kompetensi, dan visi kebangsaan yang jelas. “Putusan ini mengubah peta politik Indonesia dengan menciptakan kompetisi yang lebih sehat. Figur nonpartai kini dapat lebih leluasa memainkan perannya tanpa tekanan atau dominasi kekuatan partai politik yang sebelumnya sangat dominan,” jelasnya.
Heru juga menyoroti bahwa figur nonpartai seperti Anies Baswedan memiliki karakter inklusif yang sesuai dengan kebutuhan bangsa saat ini. “Keputusan ini bukan hanya soal membuka peluang, tetapi juga memberikan ruang bagi calon yang mampu menyatukan berbagai elemen bangsa tanpa terjebak pada kepentingan politik pragmatis,” tambahnya.
Sebelumnya, dalam pertimbangan hukumnya, Wakil Ketua MK Saldi Isra menegaskan bahwa ambang batas minimal persentase pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold) sebagaimana tercantum dalam Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) bertentangan dengan hak politik dan kedaulatan rakyat.
“Rezim ambang batas ini tidak hanya melanggar moralitas dan rasionalitas, tetapi juga menciptakan ketidakadilan yang nyata dan bertentangan dengan UUD 1945,” kata Saldi saat membacakan putusan.
Menurut Saldi, putusan ini mencerminkan pergeseran fundamental dalam pendekatan Mahkamah terhadap uji materi presidential threshold. “Pergeseran ini tidak hanya menyangkut besaran atau angka persentase, tetapi lebih mendasar, yakni menegaskan bahwa sistem ambang batas dalam bentuk apapun bertentangan dengan Pasal 6A ayat (2) UUD 1945,” jelasnya saat membacakan pertimbangan hukum Perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024.
Putusan MK ini diyakini akan membawa dampak signifikan bagi demokrasi Indonesia. Dengan membuka peluang yang lebih luas, sistem politik Indonesia diharapkan lebih inklusif dan mencerminkan aspirasi rakyat secara langsung. Namun, tantangan tetap ada, terutama dalam memastikan bahwa kompetisi politik berjalan sehat dan tidak terjebak dalam politik identitas.
Sebagai refleksi, Prof. Heru mengingatkan pentingnya menjaga semangat kebersamaan di tengah dinamika politik yang semakin kompetitif. “Ini adalah momentum untuk membangun demokrasi yang lebih substansial. Figur seperti Anies Baswedan bisa menjadi inspirasi, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana semua elemen bangsa bekerja sama untuk mencapai cita-cita bersama,” katanya. (HMP)
Discussion about this post