Daily News | Jakarta – Keputusan MK yang menghapus presidential threshold membuka peluang lebih besar bagi kader terbaik bangsa untuk maju sebagai calon presiden, tanpa terhambat oleh syarat dukungan 20 persen kursi di parlemen. Meski memberikan angin segar bagi demokrasi, keputusan ini menghadirkan tantangan besar, terutama dalam menghadapi ancaman oligarki.
Menurut Rektor Universitas Madani Yogyakarta, Prof. Dr. M. Wil Jandra, M.Ag., civil society yang terdiri dari akademisi, kelompok aktivis, ormas, pro-demokrasi, dan lainnya, memiliki tanggung jawab besar untuk mengawal implementasi putusan ini agar tidak disalahgunakan oleh pihak-pihak yang memiliki kepentingan tertentu.
“Masyarakat khususnya civil society harus berperan aktif dalam mengawasi proses perumusan peraturan KPU yang menjadi tindak lanjut dari keputusan ini. Jangan sampai aturan tersebut disusun secara tertutup tanpa transparansi,” ungkapnya saat dihubungi KBA News, Sabtu, 18 Januari 2025.
Prof. Jandra menyatakan bahwa penghapusan presidential threshold adalah peluang besar untuk memperluas akses politik bagi semua kalangan. Namun, ia juga mengingatkan bahwa ancaman oligarki masih membayangi, terutama karena modal besar yang dimiliki oleh segelintir pihak dapat digunakan untuk membeli dukungan partai politik.
“Ini menjadi tantangan besar bagi demokrasi kita, mengingat masyarakat kita belum sepenuhnya melek politik. Ketidaktahuan ini membuat mereka mudah dipengaruhi oleh uang dan materi, sehingga oligarki tetap memiliki peluang untuk berkuasa,” ujarnya.
Sebagai langkah antisipasi terhadap ancaman oligarki, Prof. Jandra menegaskan pentingnya pendidikan politik bagi masyarakat. “Masyarakat harus memahami esensi demokrasi dan tujuan hidup bermasyarakat. Kepemimpinan yang amanah, jujur, dan bermoral tinggi harus menjadi prioritas,” katanya.
Menurutnya, pendidikan politik dapat menciptakan masyarakat yang kritis dan tidak mudah terjebak dalam manipulasi politik uang. Pendidikan ini harus digencarkan melalui berbagai saluran, termasuk media sosial, lembaga pendidikan, dan forum-forum diskusi publik.
Keputusan MK ini memerlukan dukungan peraturan KPU yang transparan dan akuntabel untuk memastikan implementasinya berjalan sesuai dengan semangat demokrasi. Prof. Jandra menyoroti pentingnya petunjuk pelaksanaan (juklak) yang jelas dan tegas untuk mencegah penyimpangan.
“Juklak yang baik sangat diperlukan agar putusan MK ini tidak menjadi celah bagi oligarki untuk masuk dan menguasai,” jelasnya.
Selain *civil society*, Prof. Jandra juga menekankan peran parlemen, khususnya partai-partai yang tidak berada di pemerintahan, seperti PDIP, untuk mengawasi implementasi keputusan ini. “Para wakil rakyat harus memastikan peraturan KPU tidak melemahkan semangat putusan MK. Mereka perlu mengontrol agar regulasi yang dibuat benar-benar mendukung demokrasi,” tambahnya.
Putusan MK ini membawa harapan baru bagi demokrasi Indonesia. Namun, keberhasilan implementasinya membutuhkan sinergi antara masyarakat, parlemen, dan penyelenggara pemilu. Sekali lagi, civil society sebagai salah satu ujung tombak demokrasi harus terus mengawal setiap langkah dalam proses ini. “Masyarakat harus menjadi bagian dari pengawasan. Demokrasi tidak hanya milik elit politik, tetapi juga milik seluruh rakyat Indonesia,” tegas Prof. Jandra. (EJP)
Discussion about this post