Daily News | Jakarta – Desakan masyarakat untuk mengadili Presiden ke-7 Joko Widodo (Jokowi) dinilai sangat wajar. Usai lengser, Jokowi kerap melakukan manuver politik, terbaru menghadiri private meeting bersama Sheikh Mohamed Bin Zayed (MBZ) di Presiden Uni Emirat Arab (UEA).
Pengamat Politik sekaligus Direktur Kedai KOPI Hendri Satrio (Hensat) merespons desakan tersebut tidak hanya soal kebijakan yang dibuat Jokowi selama menjabat. Manuver-manuver Jokowi dianggap menjadi bahan bakar adanya desakan untuk mengadili.
“Sebetulnya itu dua hal yang berbeda, kalau Pak Jokowi itu kan dianggap bermanuver-manuver. Karena memang misalnya, dia menghadiri private meeting dengan MBZ,” kata Hensat dalam Podcast Abraham Samad SPEAK UP yang dipantau KBA News, Jumat, 14 Februari 2025.
Menurutnya, desakan masyarakat untuk mengadili mantan presiden sudah pernah terjadi pasca lengsernya Soeharto. Hal ini menjadi sejarah yang terulang pada bangsa Indonesia.
Bahkan pada tahun 1998 hingga 1999, desakan mengadili presiden jauh lebih parah. Kala itu masyarakat menuntut agar Soeharto dan kroni-kroninya diadili secara hukum.
Dengan rekam jejak tersebut, baru sejak Jokowi lengser desakan mengadili presiden kembali mencuat. Hensat melihat sudah 20 tahun lebih tuntutan tersebut tidak pernah terdengar di Indonesia.
Dalam kasus kali ini, Hensat menunggu tidakan aparat penegak hukum untuk segera bertindak. Hal yang sama juga harus terjadi ketika jajaran Soeharto satu-satu diadili pada akhir tahun 90-an.
“Jadi ini sebuah kondisi yang tidak pernah kita lihat sejak Jokowi lengser. Zaman GusDur enggak ada, Megawati enggak ada, SBY enggak ada,” ujar Hensat.
“Apakah ini wajar? sebetulnya enggak wajar sih. Lantas apa yang harus dilakukan penegak hukum dengan ini? penegak hukumnya berani atau tidak? kan ini yang kita tunggu,” lanjutnya.
Hensat juga menyayangkan sikap Polisi yang justru seperti menghilangkan jejak dengan menghapus tulisan-tulisan “Adili Jokowi”. Dia menilai, demokrasi yang baik yakni adanya kebebasan masyarakat dalam berekspresi.
Vandalisme Adili Jokowi dinilai sebagai wujud dari kebebasan demokrasi. Jika dihapus, sama saja dengan mencederai nilai-nilai demokrasi.
“Tapi menurut saya, sebetulnya ini adalah sebuah demokrasi yang baik. Yang bikin ini jadi enggak baik, ada aparat yang kerepotan menghapus tulisan ‘Adili Jokowi’ itu, jadi heboh kan,” terang Hensat.
“Enggak perlu dihapus, kalau ditulis itu demokrasi, kalau dihapus orang-orang jadi marah, itu perlawawanan terhadap demokrasi dong kalau itu dihapus,” pungkasnya. (AM)