Daily News | Jakarta – Pengamat sosial kegamaan dari Komisi Penelitian Pengembangan & Pengkajian MUI, Ahmadie Thaha, mengatakan ucapan pidato Presiden Prabowo Subianto yang kembali menyebutkan kata makian ‘ndasmu’mengingatkan pada sikap para pemimpin otoriter. Ini karena dapat menjadi pertanda sosok itu melihat oposisi bukan sebagai bagian dari demokrasi, melainkan sebagai gangguan yang harus dibungkam.
‘’Jadi ucapan ‘ndasmu’ dari Prabowo itu sebuah alarm tanda bahaya bagi demokrasi sejati. Sebagai mantan jenderal, Prabowo terbiasa dengan dunia militer yang hierarkis, di mana perintah adalah hukum dan kepatuhan adalah keharusan. Namun, sebagai pemimpin sipil, ia harusnya beradaptasi dengan sistem demokrasi yang menjunjung tinggi perbedaan pendapat,’’ kata Ahmadie Thaha kepada KBA News, Senin 17 Februari 2025.
Penggunaan kata “ndasmu” menunjukkan bahwa adaptasi Prabowo menjadi pemimpin sipil tampaknya masih jauh dari sempurna. Reaksi emosional terhadap kritik mengindikasikan bahwa dia lebih nyaman dengan lingkungan di mana loyalitas tanpa syarat lebih dihargai daripada diskusi terbuka.
“Ironisnya, ia sendiri pernah berjanji bahwa di bawah kepemimpinannya, kritik akan dihormati. Tetapi jika kritik dibalas dengan kata kasar, bagaimana nasib demokrasi ke depan?,’’ tegas Ahmadi.
Menurut jurnalis dan penulis buku babon politik Islam karya Ibu Khaldun ‘Al Muqaddimah’, menyatakan ucapan seorang presiden sebagai pemimpin bukan sekadar refleksi pribadi, tetapi juga representasi dari nilai yang ia bawa dalam pemerintahannya. “Jika di awal masa kepresidenannya saja sudah ada indikasi intoleransi terhadap kritik, maka ini bisa menjadi alarm bahaya bagi kebebasan berekspresi di masa depan.”
“Seorang pemimpin yang tidak tahan dikritik biasanya akan melangkah lebih jauh: dari sekadar mengumpat, menjadi membungkam. Dari hanya melontarkan kata kasar, menjadi melabeli lawan politik sebagai musuh negara,’’ tegas Ahmadie Thaha.
Sejarah dunia telah menunjukkan bahwa demokrasi tidak mati dalam semalam, melainkan perlahan-lahan, dimulai dari sikap pemimpin yang anti-kritik. “Berbekal dari arogansi kekuasaan, kemudian bisa berlanjut ke aksi pembungkaman, kriminalisasi, bahkan pembunuhan,’’ ungkapnya.
Seorang pemimpin besar tidak akan jatuh hanya karena kritik. Justru, kritik adalah vitamin bagi pemerintahan yang sehat. “Jika Prabowo benar-benar ingin membuktikan bahwa ia bukan boneka, bukan sekadar pelaksana program Jokowi, maka cara terbaik adalah menunjukkan kepemimpinan yang matang —bukan dengan mengumpat, tetapi dengan menjawab kritik melalui tindakan nyata,’’ tandas Ahmadi Thaha. (EJP)