Daily News | Jakarta – Harapan rakyat pada Danantara begitu tinggi, apalagi dalam pidatonya Presiden Prabowo kembali memompakan optimisme. Tapi dalam kenyataannya, begitu beroperasi Danantara akan menghadapi berbagai tantangan. Salah satunya adalah begitu buruk dan terbatasnya kesempatan berinvestasi di Indonesia. Dengan dana berlimpah, permasalahan menjadi semakin besar.
“Bisa saja Danantara memutuskan untuk fokus pada pendanaan 20 proyek strategis nasional dan upaya memperbaiki kinerja BUMN. Tetapi, keduanya merupakan investasi dengan horizon jangka panjang yang perlu waktu untuk merealisasikan. Danantara akan kesulitan menemukan alternatif investasi jangka pendeknya, untuk menjaga likuiditas sekaligus tingkat pengembalian investasi,” kata Ekonom Universitas Paramadina Wijayanto Samirin dalam keterangan tertulis yang diterima KBA News, Kamis, 27 Februari 2025.
Dia juga mempertanyakan apakah arm investasi Danantara akan menempatkan dananya pada Surat Berharga Negara (SBN) yang telah memfasilitasi ketergantungan pemerintah terhadap utang.
“Masak iya, Danantara akan menempatkannya di deposito yang berbunga rendah. Tidak mungkin juga Danantara menempatkan dananya di pasar saham internasional, kendatipun benar secara prinsip investasi tetapi langkah ini akan dinilai bertolak belakang dengan tujuan berdirinya Danantara,” jelas Wijayanto Samirin.
Lebih lanjut dia mengatakan, menanamkan dana di pasar modal nasional merupakan salah satu opsi terbaik. Permasalahannya kondisi pasar modal Indonesia sedang mati suri. Investor lari ke SBN, alternatif investasi likuid dengan bunga lebih dari 7% dengan risiko yang nyaris nol.
“Investor lari ke luar negeri karena terlalu dominannya praktik goreng-menggoreng di pasar modal kita. Gorengan buruk bagi kesehatan dan saham gorengan buruk bagi reputasi pasar modal dan negeri kita,” terang Wijayanto Samirin.
Dia menerangkan, total investible equity di pasar modal Indonesia hanya mewakili kurang dari 0,2% FTSE Global Equity Index Series (FTSE GEIS). Artinya, investor global hanya merencanakan untuk menempatkan kurang dari 0,2% AUM (Asset Under Management) mereka untuk diinvestasikan di Indonesia. Ini jauh lebih kecil dibandingkan negara tetangga seperti Singapura, Malaysia dan Thailand.
“Yang lebih mengkhawatirkan, proporsi yang kecil itu justru semakin kecil akibat beberapa emiten besar kita dikeluarkan dari perhitungan index FTSE GEIS, akibat dugaan manipulasi harga saham,” ungkat Wijayanto Samirin.
Menurut dia, Danantara adalah pemain investasi super besar. Ia memerlukan lapangan bermain yang luas, dan bisa dipastikan pasar modal Indonesia terlalu sempit baginya untuk bergerak. Bisa saja Danantara memilih untuk bermain di luar, tetapi pilihan terbaik adalah tetap bermain di dalam, sambil terus memperbaiki lapangan agar semakin luas, bersih dan nyaman.
“Kelahiran Danantara perlu dijadikan sebagai momentum untuk memperbaiki pasar modal kita. Perbaikan dari aspek produk, institusi, regulasi dan tata kelola perlu menjadi prioritas. Insentif dan keberpihakan pemerintah sangat ditunggu, untuk mengembalikan pasar modal kita ke era 1990-an, dimana ia menjadi pilar penting sektor keuangan,” kata Wijayanto Samirin.
Berdasar data yang dihimpun KBA News, Danantara yang resmi diluncurkan oleh Presiden Prabowo Subianto di Istana Kepresidenan Jakarta pada Senin (24 Februari 2025) akan mengelola aset hingga lebih dari 900 miliar dolar AS dengan proyeksi dana awal mencapai 20 miliar dolar AS.
Sebagai langkah awal, tujuh perusahaan BUMN akan berada di bawah pengelolaan Danantara, yaitu: Pertamina (PT Pertamina Persero), PLN (PT Perusahaan Listrik Negara Persero), BRI (PT Bank Rakyat Indonesia Tbk), BNI (PT Bank Negara Indonesia Tbk), Mandiri (PT Bank Mandiri Tbk), Telkom Indonesia (PT Telkom Indonesia Tbk), dan MIND ID (Mining Industry Indonesia).(EJP)
Discussion about this post