Daily News | Jakarta – Kawasan Raja Ampat melalui pantauan citra satelit semenjak tahun 2017 memang mengalami perubahan signifikan karena adanya kegiatan pertambangan nikel.
Pengamat dan aktivis senior lingkungan hidup, Swary Utami Dewi, mengatakan Pulau Gag dan beberapa pulau lainnya yang berada di kawasan Raja Ampat melalui pantauan citra satelit memang mengalami perubahan signifikan karena adanya kegiatan pertambangan nikel. Perubahan yang makin signifkan terjadi jelang 2020 hingga sekarang.
‘’Kami tahu mereka yang “membela” tambang (nikel) pasti selalu berdalih bahwa ada keuntungan yang masuk ke negara. Ada pula tenaga kerja yang terserap. Tapi apakah ini sebanding dengan kehilangan dan berbagai bentuk kerugian yang dialami Indonesia dalam jangka menengah dan panjang?’’ kata Utami kepada KBA News, Senin siang, 10 Juni 2025.
Dari data yang dilansir media menunjukkan bahwa pelarangan ekspor bijih nikel dan peningkatan pengolahan domestik memang telah meningkatkan nilai ekspor nikel, dari USD 4 miliar pada 2017 menjadi USD 34 miliar pada 2022. Berarti ada peningkatan 750 persen.
“Namun, klaim ini apakah sebanding dengan berbagai kerugian dan kehilangan jangka panjang yang dialami Indonesia? Data dari Kementerian Lingkungan Hidup terbaru menunjukkan betapa kaya dan berharganya Kepulauan Raja Ampat ini,’’ ujarnya.
Bahkan kekayaan alam di Kepulauan Raja Ampat itu sangat tidak main-main. Sekitar 75 persen spesies karang dunia dan ribuan spesies endemik bercokol di wilayah ini. Endemik berarti hanya ada di situ dan tidak ditemui di tempat lain. Dan tiga perempat dari keindahan karang dunia ternyata ada di Raja Ampat. ‘’Jadi pernahkah dihitung berapa besar nilai semua itu? Apakah sebanding dengan dana yang didapat dari pertambangan Nikel itu?” katanya.
Suku-suku yang berdiam di wilayah Raja Ampat juga banyak yang masih kental dengan adat dan tradisi. Suku-suku yang masih terikat erat dengan adat akan melihat wilayahnya sebagai wilayah adat atau ulayat, di mana di situ ada kearifan lokal dan praktik budaya.
“Lingkungan alam, baik yang ada di darat maupun pesisir, bagi banyak suku di Raja Ampat adalah tempat untuk mencari penghidupan, sekaligus untuk mengekspresikan budaya. Maka, kerusakan wilayah akan menjadi kehilangan besar bagi satu suku yang ada di Indonesia. Bisa jadi budaya dan tradisi mereka juga tercerabut,’’ tegas Utami kembali.
Utami kemudian mempertanyakan alasan mengeruk nikel itu adalah kegiatan yang ditujukan hanya demi keuntungan ekonomi semata. Apakah tidak pernah terpikir apa yang terjadi jika tambang itu selesai beroperasi? Siapa yang akan menanggung nasib akibat rusaknya lingkungan, tercerabutnya budaya, dampak kesehatan, dan sebagainya. Pernahkah dihitung berapa nilai kehilangan dan kerugian yang ditanggung dibandingkan keuntungan sesaat yang pasti akan berakhir?”
Menyadari hal itu, Utami kemudian menawarkan agar pemerintah menjalankan Skonsep Doughnut Economy atau Ekonomi Donut yang digaungkan oleh ilmuwan Oxford ternama, Kate Raworth. Ekonomi Donut menawarkan satu pendekatan yang menekankan keseimbangan antara pertumbuhan ekonomi, keadilan sosial serta kelestarian lingkungan dan sumber daya alam.
“Nah, jika alasannya ekonomi mengapa Indonesia tidak mendorong pengembangan ekonomi yang tidak merusak lingkungan dan aman untuk jangka panjang? Ekowisata, misalnya, yang selama ini menjadi andalan Raja Ampat bisa dibenahi dan dipromosikan lebih jauh,’’ tandas Swary Utami Dewi. (EJP)