Daily News | Jakarta – Tanpa mengikuti perkembangan global terkini dibarengi cepatnya revolusi digital sulit bagi pengajar untuk survive.
Maka,tokoh nasional Anies Baswedan menegaskan bahwa dosen di Indonesia tidak boleh hanya terjebak dalam rutinitas mengajar di kelas. Sebagai bagian dari negara besar yang memiliki posisi strategis di kawasan Asia Tenggara dan dunia, dosen harus memiliki kesadaran penuh terhadap isu-isu regional dan global yang berkembang.
“Indonesia sangat besar, dan semua negara tetangga menaruh perhatian terhadap kita. Sayangnya, sebagai bangsa besar, kita sering tidak menyadari bahwa kita punya tanggung jawab intelektual untuk ikut mewarnai wacana Asia dan dunia,” ujar Anies dalam kanal YouTube pribadinya, 14 Juli 2025.
Menurut Anies, penting bagi institusi pendidikan tinggi untuk memperluas cakrawala keilmuan mahasiswa, tak hanya di program studi internasional, tetapi juga di semua jurusan. Penguatan kurikulum berbasis isu-isu global seperti perubahan iklim, ketimpangan sosial, geopolitik, serta transformasi ekonomi dan teknologi, dinilai krusial dalam membentuk lulusan yang adaptif dan tangguh.
Ia juga menyoroti pentingnya penguasaan teknologi digital di kalangan dosen. “Ini bukan tentang ramai-ramai di media sosial. Tapi bagaimana dosen mampu menggunakan teknologi digital untuk menyusun materi perkuliahan, riset, hingga mendorong mahasiswa lebih produktif dan kreatif,” jelas Anies, yang pernah menjabat Mendikbud dan Gubernur DKI Jakarta.
Pemanfaatan teknologi digital, lanjutnya, bukan pilihan, melainkan keharusan. Dosen harus terus belajar dan memperbarui diri agar tidak tertinggal dari generasi mahasiswa yang lebih fasih dalam penggunaan perangkat digital. Integrasi teknologi dalam kegiatan akademik adalah bagian dari tanggung jawab profesi dosen di era disrupsi informasi saat ini.
Pernyataan Anies mendapat dukungan dari kalangan akademisi. Dosen Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga, Khamim Zarkasih Putro, menegaskan bahwa relevansi pembelajaran hanya bisa tercapai jika dosen mampu memahami dan mengaitkan isu-isu global dengan konteks lokal. “Dosen tidak boleh terisolasi dari realitas dunia. Mereka harus menjadi jembatan antara teori dan dinamika global yang kompleks,” ujarnya.
Khamim menjelaskan, penguasaan isu-isu global memberikan banyak manfaat strategis: meningkatkan relevansi materi kuliah, memperkuat kemampuan analisis mahasiswa, menumbuhkan kesadaran global, dan memperbesar daya saing lulusan di pasar kerja internasional. Ia mencontohkan beberapa isu seperti perdagangan bebas, perubahan iklim, keamanan regional, dan hak asasi manusia yang sudah menjadi bagian dari diskursus dunia.
Senada, pengamat komunikasi Universitas Islam Indonesia, Puji Rianto, menekankan bahwa dunia akademik tak bisa lagi berpura-pura bahwa isu lokal tidak terkait dengan isu global. “Sejak 1980-an globalisasi sudah membentuk dunia yang saling tergantung dan terhubung. Hari ini, tidak ada negara yang bisa menutup diri dari perhatian global,” katanya dari Singapura, tempat ia menghadiri seminar internasional.
Menurut Puji, bahkan isu lokal seperti deforestasi atau korupsi bisa menjadi perbincangan internasional jika tidak ditangani dengan transparan. “Kalau kita menyembunyikan kerusakan hutan, dunia akan mencatat dan memberi sanksi. Akademisi harus memahami bahwa keterlibatan mereka bukan lagi pilihan, melainkan kewajiban moral dan intelektual.”
Ia juga menekankan perlunya para dosen terlibat dalam diskusi lintas negara dan membaca publikasi ilmiah internasional agar wawasan mereka terus terbarui. Dengan begitu, mereka dapat membawa perspektif luas ke ruang kelas dan membentuk mahasiswa yang lebih kritis serta peka terhadap persoalan dunia.
Kesimpulannya, baik dari sisi teknologi digital maupun kesadaran global, dosen memiliki peran strategis dalam mempersiapkan generasi Indonesia menghadapi masa depan. Sebagaimana disampaikan Anies, “Kalau dosen melek isu global dan mampu memanfaatkan teknologi digital secara maksimal, maka kita punya peluang besar memenangkan masa depan bangsa.” (HMP)