Daily News | Jakarta – Pernyataan tokoh Pencetus dan Penggerak Perubahan Anies Rasyid Baswedan bahwa Indonesia saat ini membutuhkan pemimpin yang mampu menggerakkan, ditanggapi positif oleh banyak pihak. Pemimpin seperti itu bisa menjadi contoh dan teladan yang baik di tengah krisis kepemimpinan seperti yang terjadi di negara ini terutama sejak 10 tahun terakhir.
Pengamat politik dari Provinsi Riau yang juga seorang wartawan senior Birman Alwi menyatakan hal itu kepada KBA News, Rabu, 16 Juli 2025, menanggapi ceramah Anies Baswedan di Fakutas Ekonomi dan Bisnis Universitas Gajah Mada (FEB UGM) Yogyakarta, Senin dua hari lalu. Anies memberikan kuliah tamu di program Global Summer Week 2025 yng diikuti oleh 65 peserta dari 11 negara.
Dalam pidatonya, Anies mengupas tentang Narrative Leadership (Kepemimpinan Yang Menggerakkan). Dikatakannya, dalam menyelesaikan masalah bangsa dibutuhkan kerja semua pihak. Agar semua phak terlibat maka harus ada kepemimpinan yang menggerakkan, yang mengajak serta yang memiliki pengaruh sehingga semua orang terpanggil untuk berbuat seperti yang diharapkan bersama.
Ditambahkan oleh mantan Gubernur DKI Jakarta itu, pemimpin seperti itu bisa menyampaikan data, menyajikan fakta serta narasi yang bermakna dan menggugah. Dengan demikian membuat orang terpanggil bukan semata-mata karena informasi tetapi ada kepentingan bersama yang harus dilakukan dan karena emosi yang tersentuh oleh narasi pemimpin tersebut.
Mantan Menteri Pendidikan itu meneruskan, ke depan kepemimpinan yang dibutuhkan adalah kepemimpinan yang bisa menggerakkan semua, termasuk dalam persoalan lingkungan hidup. Di samping itu, pemimpin tersebut mampu menyatukan emosi rakyat dan menunjukkan solidaritas yang tinggi terhadap nasib rakyat dan memiliki tanggung jawab.
Menurut Birman Alwi, apa yang dikatakan Anies itu merupakan cerminan dari seorang pemimpin yang bertanggung jawab. Pemimpin yang risau melihat negerinya yang sampai saat ini miskin kepemimpinan ideal yang dekat dengan rakyat. Pemimpin yang mau berjuang untuk kepentingan rakyat bukan untuk diri sendiri, keluarga, orang dekat dan kroninya.
“Sudah lebih dari 20 tahun kita melaksanakan rezim pemilihan Presiden langsung sejak 2004. Tujuannya adalah agar terpilih pemimpin yang dekat dengan rakyat; yang mengetahui denyut nadi penderitaan rakyat, berasal dari rakyat dan mampu melakukan tindakan yang menguntungkan rakyat. Sudah 20 tahun dan lima kali pemilihan presiden langsung tetapi harapan munculnya pemimpin seperti yang dikatakan Anies itu bagai panggang yang jauh dari api,” kata alumni Fakultas Hukum Universitas Islam Riau (UIR) Pekanbaru itu.
Belum tunjukkan kualitas
Begitu juga pemimpin yang terpilih dalam Pilpres 2024 lalu, juga belum menunjukkan kualitas ideal seperti yang diharapkan. Dia malah menunjukkan kesan sebagai Presiden yang meneruskan keburukan presiden sebelumnya. Hampir satu tahun berada di puncak kekuasaan, dia belum menunjukkan diri sebagai presiden yang bisa menyejahterakan dan memakmurkan rakyat.
10 tahun pertama, hasil Pilpres langsung, terpilih Presiden yang peragu dan mendahulukan pencitraan, yaitu Jenderal Susilo Bambang Yudhoyono. Dia diharapkan bisa memperbaiki nasib rakyat dengan gayanya yang flamboyan dan bercitra. Dua periode dia berkuasa tetapi hidup rakyat tetap saja tidak membaik. Kemimpinannya tercela oleh korupsi Bank Century di mana Rp 6,7 Triliun raib begitu saja yang sampai sekarang tidak jelas pengembaliannya.
Pada tahun 2014 muncul harapan besar bahwa akan ada oemimpin yang pro-rakyat yang berasal dari rakyat kebanyakan, wong ndeso yang namanya adalah Joko Widodo. Berasal dari orang tidak dikenal dan menjadi walikota Solo, sebuah daerah atau wilayah di Jawa Tengah. Citra rakyatnya demikian nyata terlihat dari sosoknya; raut muka yang merakyat, badan yang kurus dan narasi bahasanya yang terbatas.
“Orang berharap banyak kepadanya. Karena itu, sebelum menjadi Presiden, dia terpilih sebagai Gubernur DKI Jakarta. Orang terkesima dengan citra kerakyatannya. Iklan hidup yang sederhana, berpakaian tidak mewah, tidak risih bertemu rakyat kecil dan citranya berbuat untuk rakyat hingga tidak segan-segan turun ke gorong-gorong,” kata Ketua Wilayah simpul relawan Sobat Anies Nusantara Provinsi Riau itu.
Ternyata semua itu adalah pencitraan yang menipu. Wataknya aslinya terlihat setelah berkuasa. Dia seorang yang kasar, haus kekuasaan dan tidak segan melakukan apa saja untuk mencapai maksudnya. Dia dekat dengan oligarki yang menindas rakyat dan juga seorang nepotis yang cuma memikirkan keluarga. Anak dan keluarganya dijadikan pejabat tanpa perduli melanggar moral, etika atau kepatutan.
Dia merupakan pemimpin yang paling jelek selama Indonesia merdeka. Kemudian dia diduga menggunakan ijazah palsu ketika mengikuti pemilihan, baik walikota Solo, Gubernur Jakarta maupun dua kali Pilpres. Orang yang mencurigai ijazahnya bukan dibalas dengan menunjukkan ijazah aslinya tetapi malah dikriminalisasi menghadapi proses pengadilan.
“Di situlah kita menjadi tahu betapa pentingnya muncul pemimpin yang menggerakkan seperti yang dikatakan oleh Pak Anies. Yang bisa memberikan contoh yang baik dan berjuang untuk rakyat, Bukan pemimpin yang menipu, membohongi dan menyengsarakan rakyat,” demikian Birman Alwi. (EJP)