Daily News | Jakarta – Langkah politik Presiden Prabowo Subianto yang memberikan abolisi kepada mantan Mendag Tom Lembong dan amnesti kepada Sekjen PDIP Hasto Kristianto mengejutkan banyak pihak. Dua kebijakan hukum ini dinilai tidak hanya membebaskan secara hukum, tetapi juga membuka babak baru dalam dinamika politik nasional yang semakin sulit diprediksi.
Pengamat politik dari UI Watch, Kristya Kartika, menilai bahwa kebijakan ini membuat peta politik berubah secara signifikan. Menurutnya, langkah Prabowo menghidupkan kembali spekulasi seputar relasi antara dirinya dengan Jokowi dan PDIP. Bahkan jika PDIP tidak bergabung secara formal dalam pemerintahan, partai itu kini bisa diandalkan sebagai mitra potensial jika terjadi konflik politik antara Prabowo dan Jokowi.
Abolisi dan amnesti yang diberikan telah menghapus semua konsekuensi hukum terhadap Tom dan Hasto. Lembong sebelumnya divonis 4,5 tahun penjara karena kasus impor gula, meskipun pengadilan tidak menemukan bukti bahwa ia memperkaya diri. Sementara Hasto divonis 3,5 tahun karena diduga membantu pelarian Harun Masiku, buronan KPK.
Prabowo menggunakan dua instrumen hukum berbeda: abolisi untuk Lembong—yang membatalkan putusan hukum karena dinilai keliru, dan amnesti untuk Hasto—yang mengakui vonis tapi memberikan pengampunan. Tahun ini, Prabowo juga memberikan amnesti kepada lebih dari 1.100 narapidana dalam rangka Hari Kemerdekaan.
Kristya menilai keputusan ini sebagai refleksi dari upaya menciptakan keseimbangan kekuasaan di tengah memanasnya politik nasional. Pemberian abolisi dan amnesti ini bisa dibaca sebagai bagian dari strategi Prabowo untuk membangun aliansi baru, khususnya dengan Megawati dan PDIP, tanpa harus konfrontatif terhadap kubu Jokowi.
Kunjungan Prabowo ke Solo untuk menghadiri kongres PSI dan bertemu Jokowi, serta terpilihnya kembali Megawati sebagai Ketua Umum PDIP yang disusul amnesti kepada Hasto, dipandang sebagai isyarat politik penting. Kristya menyebutnya sebagai “alarm perdamaian” antara dua kekuatan besar: Gerindra dan PDIP.
Jika nanti reshuffle kabinet benar-benar terjadi dan melibatkan kader PDIP, hal ini akan memperkuat dugaan bahwa Prabowo tengah merancang konfigurasi kekuasaan baru yang lebih seimbang. PDIP, meski tak bergabung secara resmi, berpotensi menjadi mitra strategis Prabowo jika konflik dengan Jokowi makin terbuka.
Kristya menekankan bahwa intelektual nasionalis perlu membaca fenomena ini sebagai peluang untuk membangun kekuatan rakyat yang berbasis nasionalisme, namun tetap kritis, kreatif, berbasis ilmu dan teknologi, serta setia pada warisan perjuangan bangsa.
“Langkah Prabowo ini mencerminkan dinamika yang tidak tampak di permukaan. Kita harus membaca politik hari ini secara mendalam dan penuh kesadaran sejarah,” ujarnya.
Berbagai kalangan menilai bahwa kebijakan ini menunjukkan keberpihakan Prabowo terhadap keadilan dan aspirasi rakyat, sekaligus menjauhkan diri dari praktik kekuasaan represif yang dituduhkan kepada rezim sebelumnya. Tom Lembong dan Hasto dianggap sebagai korban kriminalisasi politik, bukan semata pelanggar hukum.
Tom dijatuhi hukuman meski tak terbukti memperkaya diri, hanya karena disebut mendukung sistem ekonomi kapitalis—putusan yang dianggap ganjil. Sementara Hasto dihukum karena dianggap membantu buronan KPK, meski Harun Masiku tak pernah dihadirkan di pengadilan. Kedua kasus ini dinilai sarat kepentingan politik dan menjadi simbol rezim yang membungkam lawan dengan hukum.
Andrianto, eksponen Reformasi 98, menyebut Prabowo telah bertindak sebagai pelindung warga negara dari kesewenang-wenangan negara. Ia mengutip pendapat para ahli politik seperti Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt tentang bagaimana demokrasi bisa mati di tangan pemimpin terpilih yang otoriter. Bagi Andrianto, Jokowi adalah contoh nyata perusak demokrasi, di mana indeks demokrasi Indonesia merosot tajam di bawah kepemimpinannya.
Ia juga menyinggung sindiran Gibran kepada Lembong dalam debat Capres, menyebut Lembong jauh lebih berkualitas namun dijegal oleh kekuasaan. Sama halnya dengan Hasto yang kerap mengkritik revisi UU KPK dan menyebut Jokowi menyuap DPR demi mengamankan dinasti politiknya.
Kini, dengan langkah berani Prabowo, publik berharap tak ada lagi kriminalisasi terhadap oposisi. Prabowo dinilai telah memutus mata rantai politik dendam. “Yang penting mereka bebas,” kata Andrianto. “Bravo Prabowo. Tamatlah Jokowi.” (DJP)