Daily News | Jakarta – Kerusuhan yang merebak pasca wafatnya pengemudi ojek online (Ojol) Affan Kurniawan menjadi pelajaran bagi elite politik. Para sosiolog yang berdiskusi dalam forum daring UGM, Minggu malam, 30 Agustus 2025, menegaskan perlunya koreksi serius terhadap arah kebijakan negara agar amuk massa tidak semakin meluas.
Ketua Ikatan Sosiologi Indonesia, Dr. Arie Sujito, menjelaskan, berbeda dengan 1998, kali ini krisis politik mendahului krisis ekonomi. “Amuk massa sekarang multidimensi: pengangguran, oligarki, kegagalan otonomi daerah, lemahnya penegakan hukum. Semua itu endapan masalah yang akhirnya meledak, dipercepat oleh media sosial,” katanya. Ia mengingatkan, salah kelola krisis justru bisa memicu kembalinya kekuatan militer ke ranah politik.
Fenomena sosial baru
Sosiolog UGM, Dr. Najib Azca, menguraikan lima fenomena penting dari kerusuhan kali ini. Pertama, munculnya gerakan sosial dengan pemicu yang beragam. Kedua, adanya krisis ganda: politik yang melahirkan ketidakpercayaan pada negara dan krisis ekonomi yang menekan rakyat, diperparah kebijakan penghematan yang hanya menguntungkan kelas menengah atas.
Fenomena ketiga adalah keterlibatan luas anak muda perkotaan, termasuk driver Ojol, yang terdampak langsung PHK dan keterbatasan lapangan kerja. “Solidaritas kelompok ini tinggi karena merasa satu nasib sebagai masyarakat terpinggirkan,” jelas Najib.
Keempat, makin nyata ketidakpercayaan publik terhadap kepolisian, institusi yang selama ini mendapat tingkat kepercayaan rendah. Najib mengingatkan, jangan sampai krisis legitimasi ini membuka ruang bagi militer untuk kembali berperan dalam politik.
Fenomena kelima adalah kegagalan partai politik menyalurkan aspirasi rakyat. “Akibatnya, demokrasi mengalami regresi, dan amuk massa jadi saluran ekspresi publik,” tandasnya.
Pemuda sebagai aktor
Sosiolog IPB, Setyawan Sunito, menambahkan, kerusuhan saat ini dipicu memburuknya sistem ketatanegaraan, hilangnya fungsi trias politica, serta rivalitas polisi-militer. “Beda dengan 1998, sekarang tidak ada oposisi atau tokoh jelas yang siap berhadapan dengan kekuasaan. Kekosongan itu diambil alih para pemuda. Karena itu, aktor kerusuhan kali ini tampak tidak jelas,” ujarnya.
Para sosiolog sepakat, amuk massa bukan gejala spontan, melainkan akumulasi masalah sosial-politik yang diabaikan bertahun-tahun. Tanpa kebijakan korektif dari pemerintah, kekacauan bisa terus membesar dengan konsekuensi politik lebih berat. (DJP)