Daily News | Jakarta – Peristiwa kerusuhan yang terjadi pada 25-30 Agustus 2025 menegaskan bahwa Polri tidak bisa terus menerus hanya jadi tameng politik. Mereka butuh aturan jelas agar setiap tindakan punya legitimasi.
Maka, aktivis dan mantan anggota DPR RI, Ariadi Achmad, mengatakan saat ini tidak ada lembaga negara yang seberat Polri dalam menghadapi dilema “citra” dan “tugas”. Polisi dituntut santun, humanis, bahkan sering diminta jadi “pemadam amarah rakyat” dengan senyum dan sabar. Tapi ketika eskalasi massa berubah jadi anarkis, Polri justru sering menjadi korban: dihantam, dilukai, lalu difitnah brutal lewat opini publik dan media sosial.
“Inilah paradoks yang berbahaya. Polri diikat oleh standar ganda: “bersikaplah santun, tapi jangan kalah wibawa.” Sementara aturan main kapan aparat boleh bertindak tegas tidak pernah jelas,” kata Ariadi kepada KBA News, Selasa sore, 2 September 2025.
Melihat kenyataan itu maka saat ini memang terjadi krisis kewibawaan Polri di mata publik. Data survei membuktikan bahwa wajah Polri di mata rakyat masih abu-abu. Litbang Kompas (Mei–Juni 2024) mencatat 73,1% masyarakat percaya pada Polri, sebuah peningkatan signifikan.
“Namun pada sisi lain, data survei dari Civil Society for Police Watch (Februari 2025) justru menyebut angka kepercayaan publik baru 48,1%. Indikator Politik (Januari 2025) pun menempatkan Polri di posisi ke-9 dari lembaga negara, dengan 69% tingkat kepercayaan,’’ ujar Ariadi,
Apa arti angka-angka itu? Ini jelas menjadi pertanda bahwa Polri sedang berada di persimpangan jalan. Kewibawaannya naik-turun, bergantung pada kasus, momen, dan framing media. “Rakyat masih menghormati, tapi rasa percaya itu bisa runtuh seketika bila aparat salah langkah.”
Empat kasus besar jadi pelajaran
Ariadi mengatakan setidaknya ada empat kasus besar yang dapat dipakai sebagai pelajaran dari lapangan terkait naik turunnya kewibawaan Polri. Pertama, kasus munculnya demonstrasi 212 pada tahun 2016.
‘’Kala itu jutaan umat Islam turun ke jalan menuntut proses hukum atas dugaan penistaan agama. Polri menghadapi tekanan luar biasa. Sikap humanis Kapolri saat itu dipuji, namun sebagian publik menganggap Polri “tak tegas” membiarkan mobilisasi massa yang masif. Kewibawaan Polri dipertaruhkan antara mengakomodasi umat atau menjaga ketertiban negara,’’ ungkap Atiadi.
Kasus besar kedua adalah ketika terjadinya aksi mahasiswa 2019. Saat itu muncul gelombang protes mahasiswa menolak revisi UU KPK dan sejumlah RUU kontroversial yang berubah menjadi bentrokan keras. Gas air mata dan kekerasan aparat menjadi sorotan. Narasi “Polri represif” mengalahkan penjelasan resmi tentang penegakan hukum. Rasa keadilan dianggap absen, sehingga kewibawaan Polri tercoreng.
Pada kasus besar ketiga, yakni munculnya tragedi bentrok berdarah pada kasus Rempang pada tahun 2023. Saat itu muncul konflik agraria antara warga dan proyek strategis nasional di Pulau Rempang, Batam, yang kemudian memperlihatkan ketegangan tajam. Polisi dituding berpihak pada investor, bukan rakyat kecil. “Di sinilah ujian terbesar: aparat harus taat perintah negara, tapi juga menjaga rasa keadilan masyarakat.”
Kasus besar keempat yang harus menjadi pelajaran Polri di dalam menjaga wibawanya adalah peristiwa yang terjadi pada 25–30 Agustus 2025. Pada hari itu gelombang demonstrasi besar melanda Jakarta dan sejumlah kota terkait tuntutan “Agenda Reformasi Rakyat 2025”, pemecatan Kapolri, reformasi Polri, reshuffle kabinet, hingga seruan pemakzulan presiden dan wakil presiden.
“Dalam situasi panas itu yang sampai kini belum hilang eksesnya, Polri kembali jadi bulan-bulanan. Ada yang memuji kesabaran aparat, ada yang mengecam karena dianggap membiarkan eskalasi anarkis. Peristiwa ini menegaskan bahwa Polri tidak bisa terus menerus hanya jadi tameng politik. Mereka butuh aturan jelas agar setiap tindakan punya legitimasi. Maka mulai saat ini reformasi di Polri harus dijalankan demgan sepenuh hati,’’ tandas Ariadi. (AM)