Daily News | Jakarta – “Sidang Majelis Umum PBB itu panen raya diplomasi multilateral. Semua pemimpin dunia berkumpul, dan di situlah arah sejarah sering ditentukan,” ujar Hazairin Pohan, diplomat senior yang pernah bertugas di Markas Besar PBB, New York.
Dalam podcast Panggung Belakang KBA, host Buni Yani membuka dan menyatakan kali ini, perhatian dunia tertuju pada Presiden Prabowo Subianto. Setelah sepuluh tahun Indonesia absen di forum tertinggi PBB, kehadiran Prabowo pada sidang Majelis Umum ke-80 September 2025 akan menjadi ujian apakah Indonesia masih mampu menjadi suara penting di panggung global.
Hazairin menegaskan, agenda utama yang patut diangkat Prabowo adalah diplomasi kemanusiaan. “Inilah kekuatan utama Indonesia, soft power kita. Dalam isu kemanusiaan, kita boleh dibilang super power. Tak ada lawan,” katanya.
Indonesia telah menunjukkan langkah nyata, seperti pengiriman bantuan ke Gaza dengan pesawat TNI meski berisiko tinggi. Menurut Hazairin, bila Prabowo menjadikan diplomasi kemanusiaan sebagai brand diplomasi Indonesia, maka itu akan mendapat resonansi global lintas agama, ras, dan ideologi.
Palestina: amanat konstitusi, ujian sejarah
Isu Palestina disebut Hazairin sebagai agenda krusial kedua. “Kalau Presiden Prabowo bisa mendorong Palestina menjadi anggota penuh PBB, sejarah akan mencatatnya. Ia punya kredensial kuat—Indonesia adalah negara Muslim terbesar, demokratis, dan bersahabat dengan hampir semua negara,” tegasnya.
Hazairin menilai momentum kini terbuka: Prancis, Inggris, hingga Australia mulai mengakui Palestina. Bila Indonesia bersuara tegas, dunia Islam dan Global South akan melihat Prabowo sebagai pemimpin yang mengartikulasikan amanat konstitusi: menentang penjajahan dalam segala bentuk.
Reformasi PBB: mengembalikan relevansi
Agenda ketiga adalah reformasi PBB. Hazairin mengingatkan, “Efektivitas PBB kini sangat tergantung pada reformasi, terutama Dewan Keamanan. Tanpa itu, PBB akan terus kehilangan relevansi.”
Indonesia, kata Hazairin, layak memperjuangkan representasi baru di Dewan Keamanan bersama India dan Brasil.
“Kita eligible untuk masuk, bukan untuk gaya-gayaan, tapi untuk menjamin dunia yang lebih adil dan damai,” ujarnya.
Diplomasi dan tantangan domestik
Meski begitu, Hazairin memberi catatan penting: kredibilitas internasional bergantung pada situasi dalam negeri. “Diplomasi akan kuat bila rumah sendiri rapi. Demokrasi, hukum, lingkungan—semua harus dibenahi. Kalau tidak, pidato di PBB hanya akan terdengar indah tapi kosong,” katanya.
Tiga agenda—diplomasi kemanusiaan, Palestina, dan reformasi PBB—cukup untuk menandai kembalinya Indonesia di panggung global. Hazairin menutup pengamatannya dengan optimisme:
“Kalau tiga ini bisa dijalankan, Prabowo akan dikenang bukan sekadar presiden baru, tapi sebagai negarawan yang mengembalikan suara Indonesia di forum dunia.”
Kini, panggung di New York menanti. Pertanyaannya sederhana namun besar: apakah Prabowo akan hadir sebagai orator, atau sebagai arsitek arah baru diplomasi Indonesia? (HMP)