Daily News | Jakarta – “Sistem perpajakan yang salah kaprah ini, mungkin akan menjadi salah satu pemicu kerusuhan di masa datang. Rakyat miskin makin miskin karena terbebani oleh kenaikan pajak. Sementara penjabat menari dan bahagia di atas beban hidup rakyat yang makin berat.”
Indonesia saat ini belum menerapkan keadilan pajak bagi rakyat. Pemerintah terkesan menerapkan peraturan pajak sekehendak hati tanpa memikirkan kelayakan dan kemampuan rakyat yang dijadikan objek pajak. Kondisi seperti itu sangat berbahaya baik bagi rakyat maupun pemerintahan yang dibiayai oleh pendapatan pajak yang tidak adil itu.
Pengamat ekonomi dan perbankan syari’ah Ben Bendri Ermanto menyatakan hal itu kepada KBA News, Kamis, 4 September 2025 menanggapi pernyataan Tokoh Penggerak Perubahan Anies Baswedan yang menyatakan bahwa, dalam menjaring para wajib pajak pemerintah cenderung seperti orang yang menjaring ikan. Hanya menebar jaring di permukaan laut. Jaring tidak sampai ke dasar laut padahal justru di dasar laut itulah ikan besar bersembunyi.
“Apa yang dikatakan oleh Pak Anies benar dan nyata begitulah yang terjadi. Pemerintah cenderung mau bekerja gampang dan aman. Wajib pajak dicari di antara orang-orang yang ekonominya pas-pasan. Sedangkan untuk menyasar wajib pajak yang kaya, kita tahu terlihat kesan agresivitasnya tidak terlalu nampak,” kata Ketua Umum Simpul Relawan Rumah Bagonjong itu.
Terkait pernyataan Anies tentang sistem perpajakan di Indonesia, seperti menangkap ikan di permukaan, menurutnya, itu adalah realitas yang sebenarnya dan mendasar. “Karena pemerintah seolah-olah mati akal meccari celah untuk menutupi defisit anggaran yang terjadi. Defisit yang tidak main-main yang harus dicari penyelesaiannya,” kata Bendri.
Pemerintah saat ini, tambahnya, mengelola anggaran keuangan yang banyak terbuang ke masalah yang bukan prioritas. Ini menyebabkan, ada kesan di banyak orang, seakan akan pemerintah lalai dan tidak berpihak kepada masyarakat menengah ke bawah alias rakyat miskin. Aturan yang dibuat pemerintah yang membuat rakyat menjerit karena dirasakan menindas.
“Semuanya dipajaki, sekarang kan tidak bebas lagi kita mau mendengar lagu atau nyayian dari artis kita karena ada pajak royalti. Pajak bumi dan bangunan (PBB) naik gila-gilaan mencapai ratusan persen yang menyulut kerusuhan di Pati, Jombang dan Cirebon. Untung saja, Mendagri sudah mengeluarkan edaran berupa larangan untuk menaikkan PBB. Walaupun sudah menimbulkan korban jiwa dan kerusuhan, surat edaran Mendagri ke Kepala Daerah itu bisa meredahkan suasana,” tambahnya.
Sudah jadi momok
Tidak sampai di sana, bahkan jual beli online alias e comerse juga kena pajak. Pajak, kata Ben, sudah menjadi momok yang menakutkan bagi rakyat kecil yang penghasilannya pas-pasan. Padahal rakyat melihat begitu banyak potensi kekayaan alam yang dikerok pengusaha dari perut bumi tidak dikenakan pajak yang sepadan seperti batubara, nikel, emas, tembaga dan hasil hutan.
“Itulah yang dimaksud Anies bahwa pemerintah cuma menyasar rakyat kecil; rakyat yang hidupnya pas-pasan, yang dibayangi PHK dan pengangguran. Sementara, ikan-ikan besar di laut yang dalam tidak mampu dijangkau oleh jaring dan jala para petugas pajak,” kata Ketua Wilayah Asosiasi Pertambangan Rakyat Indonesia (APRI Sumatera Barat itu.
Pemerintah, tambahnya, hanya bisa melihat kemasyarakat bawah, karena bisa dimanfaatin dan terkesan pasrah atau tak akan berani melawan kehendak penguasa. “Apapun dipajakin, benar kata Anies, memberi beban pajak untuk masyarakat miskin itu ibarat menangkap ikan di permukaan, itu gampang dan mudah. Tapi kenapa pemerintah tidak berani menyasar banyak golongan masyarakat menengah ke atas sehingga mereka yang lolos dan tidak dipajaki?”.
Apa karena alasan mereka penjabat atau mereka investor yang akan menanamkan uangnya di berbagai usaha. Mereka itu berbeda dengan pekerja lepas, buruh, pegawai yang slip gaji, UMKM dengan pembukuan rapi, mereka ini seperti ikan dipermukaan yang mudah dijangkau dan terlihat jelas. Jadi, nampaknya, jelas pemerintah tidak punya solusi untuk mengatasi peneriman pajak negara. Karena mereka yang sudah patuh dan taat, pajaknya yang terus ditambah bebannya atau menaikan pajak.
“Sistem perpajakan yang salah kaprah ini, mungkin akan menjadi salah satu pemicu kerusuhan yang terjadi. Rakyat miskin makin miskin karena terbebani oleh kenaikan pajak. Sementara penjabat menari dan bahagia di atas beban hidup rakyat yang makin berat,” demikian Ben Bendri Ermanto. (EJP)