Daily News | Jakarta – Mahasiswa dan masyarakat sipil kembali menyuarakan keresahan publik melalui “17+8 Tuntutan Rakyat” yang ditujukan kepada pemerintah, DPR RI, serta aparat penegak hukum. Tuntutan yang muncul dari gelombang aksi demonstrasi di berbagai daerah ini mencapai puncaknya pada Jumat (5/9/2025). Gerakan tersebut lahir dari kemarahan publik terhadap fasilitas dan tunjangan DPR yang dinilai tidak layak, serta pernyataan sejumlah pejabat yang menuai kontroversi.
Dalam aksi-aksi sebelumnya, ada beberapa tuntutan seperti Adili Jokowi dan Makzulkan Gibran. Namun belakangan ini mengalami pergeseran.
Pengamat Politik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta Khamim Zarkasih Putro mengatakan, kemungkinan ada pembelokan isu yang tanpa disadari menjauhkan dari tuntutan utama. “Ini bisa terjadi karena simpang siurnya informasi tentang pergerakan sipil itu sendiri,” katanya kepada KBA News, Minggu, 7 September 2025.
Di sisi lain, kata Khamin, tuntutan untuk “Turunkan Gibran dan Adili Jokowi” kemungkinan terkait dengan aksi unjuk rasa yang dilakukan oleh beberapa kelompok masyarakat dan mahasiswa di Indonesia. Berdasarkan informasi yang tersedia, ada beberapa tuntutan yang disampaikan dalam aksi unjuk rasa tersebut, antara lain:
-) Tuntutan untuk Mengadili Jokowi: Beberapa kelompok masyarakat dan mahasiswa menuntut agar Presiden ke-7 Indonesia, Joko Widodo, diadili karena dugaan pelanggaran atau kesalahan selama masa pemerintahannya.
-) Tuntutan untuk Menurunkan Gibran: Selain itu, ada juga tuntutan untuk menurunkan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, meskipun detail tentang alasan penurunan Gibran tidak secara spesifik disebutkan dalam sumber yang ada.
Khamim mengungkapkan, dalam wawancara eksklusif dengan program Mata Najwa, Jokowi membahas tentang gerakan “Adili Jokowi” dan menyatakan bahwa itu adalah ungkapan ekspresi yang mungkin disebabkan oleh kekalahan di Pilpres atau kejengkelan terhadap sesuatu. “Jokowi juga menyatakan bahwa tidak pernah memberikan nasihat kepada Gibran terkait pekerjaannya sebagai Wakil Presiden,” katanya.
Dia menegaskan, apapun aksi unjuk rasa dan tuntutan tersebut merupakan bagian dari demokrasi di Indonesia, di mana masyarakat dan mahasiswa menyampaikan aspirasi dan tuntutan mereka kepada pemerintah.
Seperti diketahui, aksi 17+8 Tuntutan Rakyat dikemas dalam dua kategori: “17 Tuntutan Rakyat Dalam 1 Minggu” dengan tenggat 5 September 2025, serta “8 Tuntutan Rakyat Dalam 1 Tahun” yang jatuh tempo pada 31 Agustus 2026. Inti dari gerakan ini terangkum dalam tiga kata kunci: transparansi, reformasi, dan empati.
Mahasiswa bersama elemen masyarakat menekankan perlunya pembenahan serius di berbagai lini pemerintahan, mulai dari lembaga eksekutif, legislatif, aparat keamanan, hingga kementerian sektor ekonomi.
Dalam 17 tuntutan jangka pendek, mahasiswa menekankan agar Presiden menarik TNI dari pengamanan sipil, membebaskan demonstran yang ditahan, serta membentuk tim investigasi independen atas kasus kekerasan aparat. DPR diminta membekukan kenaikan gaji dan tunjangan, membuka transparansi anggaran, serta menindak anggota yang bermasalah.
Sementara partai politik diminta menegakkan etika kader, polisi dituntut menghentikan kekerasan, dan TNI diperintahkan kembali ke barak. Di sektor ekonomi, pemerintah harus memastikan upah layak, mencegah PHK massal, dan membuka ruang dialog dengan serikat buruh.
Sementara itu, delapan tuntutan jangka panjang menitikberatkan pada reformasi struktural. DPR diminta menjalankan audit independen dan menolak mantan koruptor sebagai anggota, partai politik diwajibkan membuka laporan keuangan, serta pemerintah dituntut menyusun sistem perpajakan yang lebih adil.
Selain itu, pengesahan RUU Perampasan Aset Koruptor, reformasi kepolisian agar lebih profesional, penarikan penuh TNI dari proyek sipil, serta penguatan lembaga independen seperti Komnas HAM menjadi agenda utama. Di bidang ekonomi, mahasiswa menuntut peninjauan ulang kebijakan yang dianggap memberatkan rakyat, termasuk evaluasi UU Cipta Kerja. (EJP)