Daily News | Jakarta – Indonesia saat ini belum menerapkan keadilan pajak bagi rakyat. Pemerintah terkesan menerapkan peraturan pajak sekehendak hati tanpa memikirkan kelayakan dan kemampuan rakyat yang dijadikan objek pajak. Kondisi seperti itu sangat berbahaya baik bagi rakyat maupun pemerintahan yang dibiayai oleh pendapatan pajak yang tidak adil itu.
Pengamat sosial dari Padang, Sumatera Barat Zon Titamura Piliang menyatakan hal itu kepada KBA News, Ahad, 7 September 2025 menanggapi pernyataan Tokoh Penggerak Perubahan Anis Baswedan yang menyatakan bahwa, dalam menjaring para wajib pajak pemerintah cenderung seperti orang yang menjaring ikan. Hanya menebar jaring di permukaan laut. Jaring tidak sampai ke dasar laut padahal justru di dasar laut itulah ikan besar bersembunyi.
“Apa yang dikatakan oleh Pak Anies benar dan nyata begitulah yang terjadi. Pemerintah cenderung mau bekerja secara gampang dan aman. Wajib pajak dicari di antara orang-orang yang ekonominya pas-pasan. Sedangkan untuk menyasar wajib pajak yang kaya, gak tahu kenapa agresivitasnya tidak terlalu nampak,” kata Ketua Simpul Relawan Aliansi Pejuang Indonesia Keadilan (APIK) Sumbar itu.
Sebab, katanya, rakyat tidak berani melawan. Apapun yang dilakukan aparat pajak mereka menerimanya walaupun hati dongkol dan bertanya-tanya. Sebaliknya, wajib pajak besar yang banyak duit akan melakukan nego dengan petugas dan menggunakan kekuasaan uangnya untuk mangkir dan berlaku culas.
Kasus seperti ini banyak terjadi seperti yang terungkap dalam skandal petugas pajak, Gayus Tambunan beberapa tahun lalu. Dia terciduk mempunya rekening lebih dari Rp 100 Milyar padahal dia hanya seorang petugas pajak berpangkat rendah. Dia menggunakan kekuasaan dan kesempatan untuk main mata sehigga wajib pajak membayar lebih rendah dan dia mendapat keuntungan haram.
Rakyat, banyak yang menjerit atas agresifnya para petugas pajak mengejar mereka. Sebagai pengusaha restoran di daerah, dia merasakan hal itu. “Kadang-kadang hal kecil dan tidak penting mereka korek-korek untuk mencari tambahan pajak yang lebih. Padahal kita sudah bersikap terbuka. Termasuk rekening bank kita tunjukkan kepada mereka,” keluhnya lagi.
Sindiran halus
Dikatakannya, analogi Anies di atas dikutip oleh Wartawan KBA News merupakan salah satu sindiran halus terhadap Manajemen Konsep Pemerintahan Prabowo dalam mengelola Pajak. Agresif terhadap Wajib Pajak yang hidupnya pas-pasan tetapi sangat kooperatif kepada yang yang besar yang bisa melakukan negosiasi atau yang bisa melakukan jalan damai (kongkalingkong) dengan petugas pajak.
Masyarakat melihat bahwa apa yang disampaikan Anies di atas merupakan sebuah kenyataan yang terjadi hampir di setiap masa pemerintahan. Presiden berganti Presiden tetapi masalah pajak tetap dikelola secara amatir, tidak serius dan berkeadilan. Apalagi di masa pememerintahan Joko Widodo. Zon melihat, ada faktor utama yang menjadi penyebab sulitnya Pemerintah mengatasi Persoalan Pajak saat ini.
Pertama, beban utang yang terlalu tinggi menyebabkan pemerintah kesulitan untuk menutup kekurangan dana di APBN. Saat ini beban bunga dan pokok utang yang harus dibayar setiap tahun tidak kurang Rp 900 triliun. Itu artinya hampir 25 persen APBN digunakan untuk membayarnya. Itu terjadi karena sikap jor-joran mencari utang pada 10 tahun masa Jokowi. Pada masa terakhir SBY utang cuma Rp 2.500 Triliun. Di akhir pemerintah Jokowi sudaah mencapai sekitar Rp 9.000 T. Diperkirakan dalam setahun masa Prawobo sudah tembus Rp 10.000 T.
Kedua, ketidakprofesional petugas pajak dalam menjalankan tugas. Mereka terkesan hantam kromo, menjaring sebanyak dan sebesar mungkin jumlah wajib pajak tanpa melihat kemampuan masyarakat dalam membayar. Memang ada lembaga yang bertugas menengah perselisihan pajak itu. Tetapi, yang sering terjadi adalah pihak wajib pajak lebih lemah dari petugas. Akhirnya, orang memlih penyelesaian di luar lembaga itu daripada lewat jalur resmi yang lama, berteleh-teleh, menghabiskan waktu dan dana.
Suatu yang ironis, katanya, pajak itu mestinya memberikan suasana timbal balik, bahwa pajak membantu meningkatkan daya saing dunia usaha, lewat gebrakan yang memperbaiki iklim usaha. “Yang terjadi saat ini, katanya, bagai tidak ada hubungan antara perkembangan usaha dengan kewajiban pajak. Wajib pajak dikejar-kejar dan pungutan diperbesar tetapi iklim usaha dibiarkan suram dan tidak menjanjikan,” demikian Zon Titamura Piliang. (DJP)