Daily News | Jakarta – Aksi demonstrasi dengan membawa “17+8 Tuntutan Rakyat” dinilai memiliki dinamika politik yang lebih kompleks dibandingkan sekadar gerakan moral masyarakat sipil. Pemerhati Sosial Politik, Nazaruddin, menilai terdapat sejumlah patron besar yang berada di balik gerakan ini, mulai dari kelompok sipil, anasir militer, hingga persaingan internal aparat.
Nazaruddin turut mengulas pandangan Said Didu di mana untuk urusan dalam “fungsi lebih terhadap TNI” condong mendukung dan tidak pro TNI kembali ke barak. “Apalagi menurut pandangan Said Didu dan beberapa orang KAMI, peran TNI sangat dibutuhkan untuk mengimbangi dominasi Parcok yang sudah terlanjur dominan berkat Jokowi,” jelasnya kepada KBA News, Minggu, 7 September 2025.
Namun, Nazaruddin menyoroti absennya beberapa tuntutan yang dianggap cukup krusial. Ia menyebut, tidak adanya poin terkait desakan mengadili Jokowi, pemakzulan Gibran, maupun pergantian Kapolri dan Panglima TNI merupakan hal yang janggal.
“Mengapa tuntutan adili Jokowi dan makzulkan Gibran tidak masuk? Analisa saya karena pembuat tuntutan memang koalisi masyarakat sipil yang konsen dan mainnya tidak di wilayah itu. Tapi tidak adanya tuntutan ganti Kapolri dan ganti Panglima TNI cukup aneh. Ada apa?” ujarnya bernada tanya.
Ia menduga, faktor penyandang dana turut berpengaruh dalam penyusunan daftar tuntutan tersebut. “Mungkin karena penyandang dana koalisi masyarakat sipil adalah NGO barat yang orientasinya stabilitas, terutama stabilitas ekonomi, maka tidak masuk ke situ. Termasuk tuntutan pergantian Sri Mulyani, itu kan merupakan isu sentral juga bagi publik, tapi kenapa tidak masuk? Karena alasannya stabilitas ekonomi,” papar Nazaruddin.
Lebih lanjut, ia memetakan bahwa ada tiga patron besar yang terlibat dalam gerakan ini. Pertama, koalisi masyarakat sipil dengan dukungan NGO barat. Kedua, anasir di TNI yang ingin “menghajar polisi” dan kelompok tertentu yang disebut “genk Solo”. Ketiga, kelompok dalam tubuh kepolisian dan genk Solo sendiri yang tidak ingin tergusur oleh kelompok lain.
“Patron demo ada tiga: koalisi masyarakat sipil yang dibelakangnya adalah NGO barat, anasir di TNI yang ingin menghajar polisi dan genk Solo, serta kelompok di kepolisian bersama genk Solo yang tidak ingin tergusur,” pungkasnya.
Secara umum, Nazaruddin menilai Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat yang digaungkan mahasiswa dan masyarakat sipil menjadi penanda krisis kepercayaan publik terhadap pemerintah, DPR, dan aparat penegak hukum. Tanggal 5 September 2025 ditetapkan sebagai tenggat waktu bagi para pemangku kebijakan untuk merespons desakan ini. Bukan sekadar luapan emosi, gerakan ini adalah manifesto politik yang terstruktur dan menawarkan arah perubahan yang nyata.
Tujuh belas tuntutan pertama bersifat jangka pendek dengan tujuan menguji sensitivitas elite. Tuntutan ini menyoroti isu mendasar, seperti penarikan TNI dari pengamanan sipil, penghentian kekerasan polisi, pembebasan demonstran, hingga pembekuan kenaikan gaji dan tunjangan DPR. Semua poin tersebut dianggap penting untuk mengembalikan rasa aman sekaligus menuntut empati para wakil rakyat di tengah kondisi sulit yang dialami masyarakat.
Delapan tuntutan berikutnya bersifat jangka panjang sebagai peta jalan reformasi struktural. Fokusnya antara lain reformasi DPR dan partai politik dengan audit independen, pemberantasan korupsi melalui penguatan KPK dan pengesahan UU Perampasan Aset Koruptor, penguatan supremasi sipil dengan menegaskan TNI kembali ke barak, serta perlindungan hak rakyat melalui revisi UU Ciptakerja dan jaminan bagi buruh maupun lingkungan.
Gerakan 17+8 Tuntutan Rakyat pada akhirnya mencerminkan kematangan mahasiswa dan masyarakat sipil dalam menyuarakan aspirasi. Mereka tidak hanya menyalakan alarm bahaya atas situasi demokrasi, tetapi juga menyodorkan peta jalan menuju perbaikan. Jika diabaikan, gerakan ini bisa memperdalam jurang ketidakpercayaan terhadap negara. Namun jika dijawab dengan serius, ia berpotensi menjadi momentum penting dalam pemulihan demokrasi dan legitimasi publik. (EJP)