Daily News | Jakarta – Kalau ekonomi bawah tanah ini bisa tercatat dan teratur, ekonomi kita akan jauh lebih sehat dan kuat.
Begitulah, dalam Dialog Kebangsaan Gerakan Rakyat Jawa Tengah, Anies Baswedan saat menjadi keynote speech, mengangkat persoalan yang jarang disentuh secara terbuka: besarnya sektor ekonomi bawah tanah atau underground economy di Indonesia.
Menurutnya, hampir seperempat aktivitas ekonomi nasional belum tercatat dalam sistem formal negara. “Sekitar 24–26 persen perekonomian kita masih berada di sektor bawah tanah. Dari total Rp20 ribu triliun, sekitar Rp5 ribu triliun adalah kegiatan ekonomi yang tidak tercatat,” kata Anies yang disiarkan langsung oleh kanal YouTube Gerakan Rakyat dikutip KBA News.
Anies menyebut, sektor ini mencakup aktivitas ilegal, tidak tercatat, atau informal yang kerap menjadi sumber pendanaan gelap. Hal ini berpotensi menggerogoti stabilitas ekonomi dan memperlebar jurang ketimpangan sosial. “Kalau ekonomi bawah tanah ini bisa tercatat dan teratur, ekonomi kita akan jauh lebih sehat dan kuat,” tegas Anies.
Ia menilai, lemahnya pengawasan dan ketidakterbukaan data menjadi penyebab utama sulitnya negara menata sektor tersebut. “Gerakan rakyat harus dibangun dari kekuatan mandiri, bukan dari sumber-sumber yang gelap. Kita tidak bisa membangun perubahan di atas fondasi yang kotor,” ujarnya.
Lebih lanjut, Anies menyoroti stagnasi pelaku UMKM yang selama dua dekade terakhir belum banyak naik kelas. Padahal, sektor UMKM adalah tulang punggung ekonomi nasional yang menyerap tenaga kerja besar.
“UMKM jangan hanya bertahan di titik yang sama. Mereka harus bisa naik kelas, punya cabang, punya karyawan, dan bisa menjadi bagian dari rantai pasok nasional,” katanya.
Untuk itu, ia mendorong pemerintah memberikan insentif nyata bagi pelaku usaha kecil, termasuk akses modal, pelatihan, dan pendampingan berkelanjutan. “Bukan hanya seremonial, tapi pendampingan nyata agar UMKM bisa bertransformasi,” tambahnya.
Anies juga mengingatkan kembali amanat konstitusi bahwa fakir miskin dan anak terlantar harus dipelihara oleh negara. Menurutnya, istilah “dipelihara” bukan berarti dibiarkan dalam kemiskinan, tetapi diangkat derajatnya melalui kebijakan ekonomi yang inklusif.
“Negara hadir bukan hanya memberi bantuan, tapi membangun kemandirian. Ketika rakyat produktif, maka kesejahteraan akan tumbuh dengan sendirinya,” ucapnya.
Ia menilai, pembenahan ekonomi harus berawal dari keberanian menegakkan aturan dan menghapus rente politik. “Ekonomi yang sehat tak bisa berdiri di atas ketidakadilan. Ia tumbuh dari kejujuran dan transparansi,” tegasnya.
Sebelumnya, dalam acara ini sejumlah narasumber dari berbagai bidang turut berbagi pandangan strategis. Awalil Rizky, Ekonom Bright Institute, membahas kondisi dan arah perekonomian nasional; Prof. Dr. Drs. Muhammad Nur, DEA, Guru Besar UNDIP, mengulas aspek ketahanan pangan di tengah tantangan global.
Prof. dr. Zaenal Muttaqin, Sp.BS, Ph.D., Guru Besar UNDIP, menyoroti isu kesehatan masyarakat dan ketahanan sistem kesehatan nasional; Dr. M. Taufik, S.H., M.H., Dosen UNISSULA, mengupas dimensi hukum dan keadilan sosial dalam upaya membangun Indonesia yang berdaya. (DJP)