Daily News | Jakarta – Guru Besar Sosiologi Sastra Fakultas Ilmu Budaya UGM, Prof. Dr. Aprinus Salam, M.Hum, mengingatkan agar bangsa Indonesia tidak terjebak dalam romantisme masa lalu dan mimpi utopis yang menjauhkan dari realitas.
Menurutnya, Indonesia memerlukan formula baru dalam bermimpi, bukan sekadar mengulang-ulang narasi kejayaan masa lampau. “Mimpi yang hanya menggali kembali kehebatan masa lalu—Sriwijaya, Majapahit, atau Mataram—tidak akan menuntun bangsa ini ke masa depan. Jangan sampai mimpi bangsa ini menjadi utopia,” ujar Aprinus kepada KBA News, Selasa (8/10/2025).
Ia menilai, strategi kebudayaan yang berorientasi pada masa lalu kerap diartikan sebagai praktik “menggali memori kolektif.” Namun, jika tidak disertai kesadaran kritis, hal itu bisa menjerumuskan masyarakat pada apa yang disebut mimpi fetisisme—yakni keyakinan bahwa kejayaan lama bisa dihidupkan kembali untuk melawan kapitalisme global.
“Mimpi fetisisme mengandalkan hal-hal masa lalu yang dianggap mampu mengatasi persoalan kini. Padahal, masa lalu itu sendiri tak mampu menyelesaikan masalahnya,” tegasnya.
Aprinus menjelaskan, gagasan ini sejalan dengan pemikiran filsuf budaya Walter Benjamin tentang double dream theory—dua jenis mimpi yang mempengaruhi peradaban manusia: mimpi fetisisme dan mimpi utopianisme. Jika yang pertama terjebak pada glorifikasi masa lalu, maka yang kedua berkhayal tentang masa depan yang sempurna.
“Utopianisme membayangkan dunia tanpa penindasan, tanpa kapitalisme, penuh kedamaian dan kebebasan. Sekilas indah, tapi tetap ilusi, sebab dunia tidak berjalan linier. Masa depan tidak bisa direkayasa seperti impian surgawi,” ujarnya.
Menurutnya, bahkan mimpi utopis sekalipun memiliki sisi bahaya: manusia menjadi terlalu yakin akan “takdir sejarah” dan saling menyingkirkan demi kebenaran versinya sendiri. “Perjuangan yang berlebihan bisa membuat manusia saling sikut karena merasa paling benar demi masa depan yang cerah,” katanya.
Aprinus menegaskan bahwa bangsa ini perlu strategi bermimpi yang realistis—menyadari keterbatasan sejarah dan belajar dari kegagalan leluhur. “Leluhur kita tidak terlalu jaya; kekalahan dan kehancuran adalah buktinya. Tapi dari situ kita diselamatkan untuk menjadi Indonesia,” ujarnya.
Dengan kesadaran sejarah yang jujur dan pandangan ke depan yang rasional, Indonesia bisa merumuskan visi baru yang lebih membumi: mimpi yang berakar pada realitas, bukan pada ilusi kejayaan masa lalu maupun utopia yang mustahil. (EJP)